Monday, August 30, 2010

Ego Spiritual Orang Saleh

Oleh Thobib Al-Asyhar

Selepas dari pesantren pada tahun 1992, penulis melanjutkan kuliah di IAIN Jakarta. Sebagai alumni pesantren yang merasa memiliki bekal agama, penulis beranggapan bahwa hidup di Jakarta harus penuh hati-hati, karena gaya hidup orang Jakarta sudah sangat tercemar oleh budaya hedonisme.

Ketika pamit kepada sang kyai, penulis diwasiatkan agar tidak menanggalkan kopyah yang telah menjadi budaya di pesantren.

Untuk menjalankan amanat sang kyai, penulis berusaha untuk konsisten menggunakan kopyah dimanapun, seperti ketika sholat, kuliah, mengajar privat di suatu tempat, atau sekedar keluar membeli makanan di Warteg sekalipun. Sehingga ada orang yang menyindir penampilan penulis saat itu sebagai “makhluk gua”. Sedih? Pasti! Bukan hanya penampilan fisik saja, sikap sehari-hari penulis juga betul-betul dijaga dengan perilaku yang khas santri, tawadhu, menjaga pandangan, dan tentu saja menjalankan ritual secara konsisten, seperti sholat berjamaah, membaca al-Quran selepas maghrib, wirid panjang, dan hidup sederhana.

Namun, di balik “kesalehan” itu, dalam diri penulis seperti ada ego tinggi sebagai orang “saleh”. Melihat teman yang tidak sholat tepat waktu, misalnya, dalam hati terbesit celaan, wah ini orang males banget ya? Apalagi melihat tukang bangunan yang merokok pada bulan Ramadhan, penulis sering bergumam, sudahlah hidup di dunia susah, tidak sholat, nggak mau puasa, bagaimana nanti di akhirat? Bahkan dalam hati sering berkhayal menjadi seorang tentara dengan gagah berani menghajar tukang-tukang bangunan yang tidak menghargai bulan puasa itu. Jadi, sebagai orang yang memiliki ego “saleh” saat itu, penulis menganggap orang yang secara kasat mata melanggar aturan agama sebagai orang perilaku buruk yang kelak pasti masuk neraka. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa atas semua prasangka masa laluku.

Setelah penulis kuliah di IAIN yang mengajarkan tentang banyak perspektif dalam beragama, kemudian penulis menyadari bahwa di awal tinggal di Jakarta, penulis mengalami “sentimen” kesalehan. Hal ini dapat dimaklum, karena pesantren mengajarkan agama dari sedikit sudut pandang, khususnya Islam ala mazhab syafii dan ritualisme sebagai simbol kesalehan itu sendiri. Dari kesadaran ini, kemudian penulis memaknai pesan kyai yang tidak boleh menanggalkan kopyah sebagai nilai kesalehan yang harus dipegang, dimanapun berada. Karena mengenakan kopyah di semua momen, disamping secara fisik cukup merepotkan, seperti ketika naik Metro Mini berpotensi kesenggol dan terinjak-injak penumpang lain, kopyah hanyalah budaya masyarakat pesantren yang tidak berkorelasi dengan kesalehan sejati.

Dari pengalaman hidup penulis tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa orang yang merasa dirinya “saleh” cenderung memiliki ego sebagai orang baik yang merasa lebih unggul dibandingkan orang lain. Perasaan inilah yang penulis istilahkan sebagai ego-spiritual. Munculnya ego-spiritual disebabkan karena kuatnya perasaan saleh dalam diri seseorang, sehingga dia merasa pantas menilai orang lain sesuai persepsinya, meskipun dalam banyak kasus, dia melakukan pelanggaran-pelanggaran norma agama. Kejadian seperti ini sering menimpa orang yang menganggap kesalehan dari aspek lahir saja. Contoh yang paling sederhana adalah orang yang menggunakan kopyah putih, berbalut sorban, berbaju gamis, berjenggot, yang secara lahir saleh, namun di antara mereka justru ada yang melakukan kekerasan atas nama agama, seperti menyerang kafe, diskotik, atau kelompok orang yang dianggap menyimpang. Bahkan sebagian telah mewujud dalam aksi-aksi terorisme.

Demikian juga orang yang berpenampilan fisik seperti kyai, ustadz, baik cara berpakaian, tutur kata atau bahkan jidatnya terdapat titik hitam seperti bekas sujud dan sering memberikan dakwah dimana-mana, ternyata dalam kesehariannya tidak menunjukkan perilaku saleh sebagaimana seharusnya seorang kyai atau ustadz. Betapa banyak orang semacam ini yang ternyata masih mau mengambil harta yang bukan haknya, misalnya, seperti melakukan mark-up anggaran, atau bahkan melakukan korupsi dalam arti konvensional di lingkungan birokrasi.

Di lingkungan masyarakat, betapa banyak orang semacam ini yang melakukan kebohongan kepada istri dan anak-anaknya dengan berpoligami di bawah tangan. Meskipun boleh secara agama, namun jelas menyakiti keluarganya. Sementara di luaran sana mereka mengajarkan tentang kejujuran, kesantunan, dan nilai-nilai baik lainnya. Ini menunjukkan bahwa perasaan saleh dalam diri mereka telah menutup mata hati untuk menyadari kelemahan-kelemahan diri, sehingga merasa telah menjadi orang saleh. Padahal tanpa sadar, kesehariannya justru sering melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang selalu diajarkan.

Ada ungkapan menarik dari seorang sufi yang berbunyi: zayyinu anfusakum bi al-ma’shiyyah, wala tuzayyinu anfusakum bi al-maghfirah (hiasilah dirimu dengan merasa banyak dosa/maksiat, dan janganlah menghiasi dirimu dengan merasa banyak ampunan). Ungkapan sufi ini begitu bijaknya, karena merasa dirinya saleh adalah penyakit batin yang luar biasa. Imam al-Ghazali menyebutnya sebagai penyakit ‘ujub yang dikategorikan sebagai sifat yang merusakkan amal baik (al-aushaf al-muhlikat). Sedangkan perasaan diri banyak dosa/maksiat, merupakan sifat tawadhu’ yang sangat dianjurkan oleh Islam.

Bukankah semua ritual agama bertujuan untuk melembutkan hati, dan membimbing kerendahan hati dengan menutupi amal baiknya dan selalu mengingat kebaikan orang lain. Intinya, orang beragama yang benar adalah ketika di dalam hatinya tidak ada ego-spiritual yang mengandung unsur kesombongan diri. Dalam sebuah ayat al-Quran disebutkan: janganlah kalian merasa beriman, sementara kalian sedang diuji. Dalam ayat lain disebutkan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan Islam (kepasrahan total).

Oleh karena itu, orang yang benar-benar beriman, apalagi yang seakan-akan beriman, perlu mengevaluasi sikap dan perilakunya, agar jalan spiritualnya tidak dihinggapi ego yang tinggi yang dapat merusakkan kesalehan sejati. Sekarang waktunya mengevaluasi diri, adakah ego-spiritual di dalam diri kita, meskipun hanya sebesar biji sawi (dzarrah)? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Wallahu a’lam.

Thobib Al-Asyhar, alumni pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, penulis buku-buku keislaman, kandidat doktor bidang Pengkajian Islam UIN Jakarta.

Sunday, August 15, 2010

Ramadhan dan Kecerdasa Sosial

Bahrul Hayat, Ph. D.
(Sekretaris Jenderal Kemenag RI)

Ayat al-Quran yang sering dijadikan rujukan atas kewajiban ibadah puasa adalah QS:2:183. Surat ini menegaskan bahwa tujuan diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang beriman adalah agar mereka menjadi kaum yang bertakwa. Takwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah karena mengharapkan pahala dari-Nya, dan meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut akan siksa-Nya.

Secara psikologis, pembentukan konsepsi takwa melalui ibadah puasa secara lebih operasional dapat diartikan sebagai pembentukan watak atau karakter yang memiliki kecerdasan ketangguhan (adversity intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence), dan kecerdasan sosial (social intelligence) yang menjadi ukuran dari kualitas diri seseorang.

Pertama, kecerdasan adversity, yaitu kondisi psikologis seseorang yang mampu menghadapi berbagai kesulitan dan cobaan hidup yang dialaminya. Melalui ibadah puasa, seseorang sedang membangun kecerdasan ketangguhan melalui kemampuannya menahan lapar dan haus, serta berbagai godaan nafsu lainnya. Pada tahapan ini, dia merupakan individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi. Individu ini dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi.

Kedua, kecerdasan emosional, yaitu kondisi psikologis seseorang untuk dapat menyadari dirinya (self-awareness) dan mengelola dirinya (self-management) secara produtif. Dengan berpuasa seseorang dilatih batin dan ruhaninya untuk peka dan sensitif terhadap dirinya sendiri dan sekaligus mengelola batinnya sehingga kalbunya memancarkan radar untuk dapat melihat dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana yang bermanfaat dan yang merusak bagi dirinya. Sebagaimana dikatakan Antoine De Saint-Exupery dalam The Little Prince ” It is with the heart that one sees rightly; what is essential is invisible to the eye.

Ketiga, kecerdasan sosial, yaitu kecerdasan yang terbentuk ketika hendak membangun sebuah relasi yang produktif dan harmonis. Selain dapat membangkitkan solidaritas sosial, hikmah ibadah puasa dapat meningkatkan kualitas relasi dengan sesama, seperti kerabat, tetangga, rekan kerja atau atasan. Relasi ini sangat mungkin berjalan dengan baik jika seseorang mampu mendemonstrasikan sejumlah elemen penting dalam kecerdasan sosial.

Terdapat lima elemen kunci kecerdasan sosial, yaitu: pertama, situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Contoh, orang yang merokok di ruang ber-AC tanpa merasa bersalah adalah orang yang tidak memiliki kesadaran situasional.

Kedua, presense atau kemampuan membawa diri. Bagaimana etika penampilan, tutur kata, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya.

Ketiga, authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku seseorang yang akan membuat orang lain menilainya sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan ketulusan. Elemen ini amat penting, sebab hanya dengan aspek inilah seseorang dapat membentangkan relasi yang mulia dan bermartabat.

Keempat, clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana seseorang dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan idenya secara renyah dan persuasif, sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Sering seseorang memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara lebih tepat, sehingga atasan atau rekan kerja tidak berhasil diyakinkan.

Kelima, empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana seseorang dapat berempati pada gagasan dan penderitaan orang lain. Sejauh mana kita memiliki keterampilan untuk bisa mendengarkan, memahami pemikiran orang lain, dan melakukan aksi nyata untuk meringankan penderitaan orang lain. Perasaan lapar dan haus dapat ditindaklanjuti dengan semangat kedermawanan melalui zakat, infak, sedekah dan ibadah sosial lainnya.

Oleh karena itu, ibadah puasa yang sedang kita lakukan selama bulan Ramdhan ini hendaknya dapat membentuk tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan adversity (ketangguhan), kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial yang menjadi ciri utama kualitas diri seorang mukmin yang bertakwa◊

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat)

Wednesday, August 04, 2010

Insting Binatang Membaca Tanda-tanda Alam

Oleh Muhammad Anis
(Dosen dan Kandidat Doktor UIN Jakarta)

Seringkali kita mendengar perkataan orang-orang tua kita saat melihat kupu-kupu yang masuk ke rumah, bahwa akan ada tamu yang datang. Atau ketika melihat burung gagak yang terbang berputar-putar di atas daerah tertentu, bahwa saat itu terdapat atau akan terjadi orang meninggal dunia di daerah tersebut.

Sebagian orang menganggap hal ini sebagai mitos, bahkan tak jarang yang menganggapnya tahyul (khurafat) yang mesti dijauhi karena bisa menyesatkan. Namun, semestinya tidak perlu terburu-buru untuk memberikan kesimpulan seperti itu pada riwayat-riwayat tersebut. Karena, sangat mungkin hal itu merupakan bagian dari tanda-tanda alam yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia.

Sains membuktikan bahwa hewan memiliki keunikan tertentu yang tak dimiliki manusia. Sebagai contoh Kelelawar, yang mampu memancarkan gelombang ultrasonik dari mulutnya, yang bisa memantul balik bila mengenai benda di depannya dan dapat ditangkap kembali oleh telinganya, sehingga dia dapat terbang cepat dan aman di gelap gulita malam. Demikian pula Gurita, yang mampu berkamuflase dengan mengubah bentuk dan warna tubuhnya sesuai dengan bentuk dan warna lingkungan di sekitarnya.

Bahkan hewan juga memiliki insting (kepekaan) yang melebihi manusia. Sebagai contoh Laba-laba, yang memiliki kemampuan merasakan dan menentukan arah getaran yang sangat lembut pada jaring-jaringnya. Elang, dengan ketajaman matanya yang mampu menangkap gerakan ikan dalam air dari ketinggian di udara sembari terbang. Bahkan pernah diberitakan tentang kemampuan Anjing dalam melakukan deteksi dini terhadap gejala penyakit kanker seseorang, dengan hanya mengendus urine orang tersebut.

Tak hanya itu, keandalan insting hewan ini bahkan terbukti pula pada musibah tsunami yang telah memporak-porandakan Aceh dan Sumut. Seorang pakar margasatwa Sri Lanka, H.D. Ratnayake, meyakini hal ini setelah mengetahui bahwa tidak ditemukan bangkai hewan liar pasca tsunami gigantik di Samudera Hindia tersebut. Padahal dalam bencana ini, puluhan ribu orang tewas di sekitar pesisir pantai Laut India. Ia mengatakan bahwa hewan-hewan memiliki indera keenam dan bisa mendeteksi keberadaan gempa yang disusul gelombang tsunami, sehingga mereka berhasil menyelamatkan diri hanya beberapa saat sebelum terjadinya bencana.

Sebagaimana yang juga diberitakan, Taman Nasional Binatang Liar Yala adalah cagar satwa liar terbesar di Sri Lanka, di mana di dalamnya terdapat gajah, rusa, srigala, buaya, dan binatang-binatang lainnya. Ketika tsunami terjadi, air laut naik dan menggenangi tanah di darat hingga sejauh 3,5 kilometer serta menghancurkan bangunan-bangunan di taman. Banyak wisatawan dan pegawai taman yang tewas ditelan gelombang. Namun, di luar dugaan, berbagai jenis binatang liar di taman itu dapat lolos dari bencana tersebut.

Pakar hewan lainnya, Clive Walker, yang telah menulis beberapa buku tentang kehidupan satwa liar di Afrika, juga memercayai adanya indera keenam atau insting tajam pada hewan. Ia berkata, “Satwa liar tampaknya bisa mengetahui fenomena yang akan terjadi, terutama burung-burung. Banyak laporan yang menyatakan bahwa burung-burung berhasil mendeteksi bencana alam yang akan terjadi.”

Demikian pula dengan pengurus Cagar Harimau Liar di Pulau Sumatera, Debby Melt, yang berpendapat bahwa hewan liar sangat peka terhadap bencana alam. Indera dengar binatang sangat peka. Mereka sangat mungkin lebih dulu merasakan akan terjadinya tsunami. Selain itu, getaran yang ditimbulkan oleh tsunami dapat mengakibatkan perubahan tekanan udara, sedangkan perubahan tekanan udara bisa memberikan peringatan dini, dan mengingatkan binatang untuk pindah ke tempat yang aman.

Ada kisah menarik lainnya, di mana kehebatan insting hewan telah mampu menyelamatkan ribuan nyawa. Pulau Makiyan adalah pulau kecil di Maluku Utara yang terkenal sebagai penghasil cengkeh, pala, dan kenari. Kesuburan pulau ini dikarenakan tanahnya yang berasal dari letusan gunung berapi. Gunung Kiebesi meletus dahsyat pada tahun 1760, yang menelan korban jiwa sekitar 2000 orang. Gunung ini kemudian meletus kembali pada tahun 1988, namun anehnya tanpa menelan korban jiwa. Padahal letusan tersebut telah melenyapkan puluhan desa serta ratusan hektar kebun cengkeh, pala, dan sebagainya. Ternyata, hal ini dikarenakan penduduk pulau tersebut telah lebih dulu mengungsi, ketika gunung itu baru mengeluarkan asap.

Meskipun gunung tersebut memang selalu mengeluarkan asap dan masyarakat telah terbiasa dengan itu. Namun, keyakinan mereka akan terjadinya bencana alam muncul ketika melihat naiknya ikan-ikan di sekitar pantai dalam jumlah yang sangat besar, dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, mereka juga melihat banyaknya babi yang keluar dari hutan, hingga mendekat ke kampung-kampung. Meskipun babi adalah salah satu hewan yang tidak asing bagi mereka, namun babi yang keluar saat itu adalah dalam jumlah besar yang tidak seperti biasanya. Karena itu, mereka menganggap bahwa ini merupakan pertanda bahaya. Benar, tak lama kemudian, gunung Kiebesi meletus dahsyat. Wallahu A'lam.[]

Monday, August 02, 2010

PEMBENTUKAN KARAKTER MANUSIA MENURUT PARA AHLI

Thobib Al-Asyhar
(Alumni PSTTI UI, saat ini Mahasiswa Program Doktor Psikologi Islam UIN Jakarta)

Dalam buku The Psychology of Moral Development (1927), Lawrence Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. Teori yang dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.

Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku. Kohlberg lebih menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian. Sementara potensi fitrah merupakan konsep keagamaan yang dianggap tidak empirik karena di dalamnya memuat keyakinan tentang struktur jiwa manusia, seperti ruh, akal, qalb dan nafs.

Sementara jauh sebelumnya, Sigmund Freud memiliki pendapat tentang potensi pada diri manusia yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu: id, ego, dan superego (es, ich, ueberich). Menurutnya, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psiko-seksual tertentu pada enam tahun pertama dalam kehidupannya. Berdasarkan teorinya tersebut, Freud menyimpulkan bahwa moralitas merupakan sebuah proses penyesuaian antara id, ego, dan superego. Titik lemah terbesar Freud dan para penganutnya bukan pada kesalahan teorinya, tetapi adalah over generalisasi dari teori tersebut, sehingga dalam kacamata Freud, manusia dapat dikatakan tidak berbeda dengan binatang, bahkan lebih menderita karena tidak sebebas binatang dalam melampiaskan nafsunya.

Di sisi lain, ada tokoh psikologi Barat, William James, berpendapat dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1982) yang menyebutkan bahwa manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama), yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama. James tidak menyetujui pandangan para pakar yang menganggap fenomena keagamaan ruhaniah manusia selalu berkaitan dengan –bahkan berawal dari-- kondisi psiko-fisiologis dan kesehatan seseorang. Ia menentang pandangan materialisme medis yang mereduksi agama dan pengalaman religius yang sifatnya spiritual, menjadi sesuatu yang bersumber dari gangguan syaraf. Menurut telaah James terhadap pengalaman spiritual-religius, bahwa pengalaman religius individu-individu berkaitan dengan integritas kepribadian yang baik. Penghayatan seperti itulah oleh William James disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power). Artinya, adanya pengakuan terhadap kekuatan di luar diri yang serba Maha dapat dijadikan sebagai sumber nilai-nilai luhur abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.

Di dalam Islam, Al-Ghazali memiliki pandangan unik tentang pebentukan karakter manusia dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (tt). Ia menyatakan bahwa sumber pembentukan karakter yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah (asma’ al-Husna) dalam perilaku seseorang. Artinya, untuk membangun karakter yang baik, sejauh kesanggupannya, manusia meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya. Sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan taqarub kepada Tuhan. Karena itu, Al-Ghazali tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir tetapi juga kebersihan ruhani.

Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang sholat, puasa, dan haji, dapat disimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan ruhani. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa amal itu baik ketika menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan itu. Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali ditemui dalam semboyan tasawuf yang terkenal al-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyan yang lain, al-shifatir-rahman ala thaqalil–basyatiyah.

Sementara dalam kitabnya, Tahdzib al-Akhlaq, Ibnu Makawaih menunjukkan fakta-fakta kompleksitas konseptual dalam pembentukan watak seseorang. Watak yang baik dapat dibentuk melalui tindakan yang benar, terorganisir dan sistematis. Menurutnya, jiwa adalah abadi dan substansi bebas yang mengendalikan tubuh. Jiwa adalah intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah. Kebahagiaan timbul melalui gerakan keatas, kemalangan melalui gerakan dalam arah berlawanan. Menurutnya, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk keberadaan rendah.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Muhammad Usman Najati dalam bukunya berjudul al-Quran wa Ilm an-Nafs (2005) bahwa dalam kepribadian manusia terkandung sifat-sifat hewan yang tercermin dalam berbagai kebutuhan fisik yang harus dipenuhi, dalam rangka menjaga diri dan keberlangsungan hidupnya. Selain itu, dalam kepribadiannya juga terkandung sifat-sifat malaikat yang tercermin dalam kerinduan ruhaninya untuk mengenal Tuhan, beriman kepadaNya, menyembah kepadaNya dan mensucikannNya.

Dengan demikian, dalam karakter penciptaan manusia terdapat kecenderungan untuk berbuat baik dan jahat; kecenderungan untuk menuruti hawa nafsu fisiknya dan tenggelam dalam menikmati kesenangan; dan kecenderungan untuk mencapai puncak keutamaan, ketakwaan, cita-cita luhur kemanusiaan, dan amal baik, serta ketenangan jiwa dan kebahagiaan spiritual yang diwujudkannya. Dalam pandangan Usman Najati, bahwa pola pembentukan kepribadian manusia tidak terlepas dari kedua potensi tersebut dan akan berkembang sesuai dengan proses kehidupannya. Namun, terdapat potensi fitrah yang sangat berperan, selain konsep sosial dalam proses pembentukan karakter seseorang.

Dari berbagai pendangan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep pembentukan karakter manusia dapat dilihat dari banyak aspek. Menurut ilmuan Barat lebih memandang manusia dari kaca mata empiristik. Sedangkan dalam perspektif Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi fitrah dimana terdapat daya-daya yang dapat memunculkan sebuah sikap dan perilaku yang tidak lepas dari stimulus dari luar. Artinya, Islam memandang, karakter manusia tidak murni karena faktor potensi, tetapi juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Bahan Bacaan
1.Lawrence Kohlberg, The Psychology of Moral Development (1927)
2.Sigmund Freud,Three Essays on the Theory of Sexuality (2000)
3.William James, The Varieties of Religious Experience (1982)
4.Imam Al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnā Syarh Asma Allah al-Husna (tt)
5.Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlaq (tt.)
6.Muhammad Usman Najati, al-Quran wa Ilm an-Nafs (2005)