Friday, December 03, 2010

SUFI MUSIC AND THE SOUL HAPPINESS

Happiness and suffering were the most authenticity for humankind. Along his life, human always attempts to get happiness and avoids himself from suffering. But everyone has different illustration about the meaning of happiness and suffering, based on his system of faith. Although, there is always a certain belief about experiencing happiness and suffering in each lives.

In the religion traditions, illustration of happiness and suffering explained in the concepts of Heaven and Hell. To get the happiness and avoid their adherents from suffering, every religion has the unique ways, such as meditation, ritual, and listening to music as medium to obtain spiritual atmosphere that filled with love and affection to God and creatures.

Using music as emotion and mind awakener medium was stated by ancient Greek philosopher, like Plato (470-399 BC) and Aristoteles (348-322 BC). They said that music can keep and recover harmony in the parts of soul, while the medicine remedying the parts of body.

Even Pythagoras (572-497 BC) said that voice was an accidence stayed in the substantion with movement. The rotation and revolution of Universe that move the planets and the stars have their rythm and produce music to elevate and honor deeply of God.

In the eastern world, Mahabarata epic from India explained, that was God who creates various simetric and numeric which based on the structure of body. In China, I Ching or The Book of Changed, reflected the same sense of harmony.

In the western world, Bible stated that the origin was an Utterance. In Greek, “logos” not only means “word”, but also “voice”. In the Ancient Time, one listened to David’s holy harp, Orpheus and Apollo. Music in the ancient is a mysterious and amazing instrument for creating harmony between mind and body.
In the sufis world, actually, music became soul awakener medium since the beginning, but how it was practiced was drawn not so clearly by the earlier sources. In the sufi tradition, music is arising soul for being closer to God.

For sufi, music can be used for healing mind from problems and conforting human characters. It is such a stimulation to look at the Hidden Miracle of God. The all possibility of Divine basic pattern wich laid away in the hidden treasure rhythm and tones as universal paradigm of the whole worldly form in the sacred music melody. In the previous time, voice and music were related to creating universe itself.
Listening music for sufi is something to reach for perfection. Because the music contains thousands of joy, which could help human passing through the thousand-years-journey to reach an ecstassy of pure happiness, that had never been reached by music listener who mixed it up with something intoxicated.

Strained situation in nerves can be relaxed after listening music, and the all of nerves full of glowing still as obtained by sacred ritual. While listening music, one must submit his whole soul to God in order to be free from desire. But it will not be obtained except with the strongest will striving to God.

Sufi music is the audision and vision from God presence. It is miracle beyond the miracle, because the gladness of each soul in listening music can be enjoy appropriately with the soul sacred phases. But to obtain it, one who listened sufi music has been given rules in order to reach the truly sacred of soul.

Jalaluddin Rumi said, voice that coming from music and poems deeply touched is a stimulae which can lead the way to loving God in higher position. With stronger love, one would feel God presence, The One Who created the true happiness, deeper and deeper.

In the psychology perspective, sufi music can break through consciousness and take ones to the unimaginable places somewhere, so it can heal diseases and illnesses. The process that gives more values than other worldly process can create psycho-physiologies response while the ones’ conditions changed. If the music used for relaxation, ones abstract minds move to normal condition. While the processes are to be continued, they will follow a conscious condition, rising sensory, dream, trance, meditation, amazed and true happiness phases to the next higher level.

Principally, listening sufi music is something sacred because the essential of music is the essential of soul itself, which placed in the listener soul in the level of perfection.

The same music has the same function as well as Ravi Shankar for Hindu, Honkyoku and Chanting for Buddha, Canonical Music for Roman Catholic and Masanori Takahashi or Kitaro for New Age groups.

Finally, sufi music and the music alike can be the point and dialogue medium among faiths, because they had genuine goals to help human get their happiness with the ways of soul awakeness towards God. Because, the true happiness of humankind is while one feels closer to God’s presence■

Thobieb Al-Asyhar works as the Officer of Ministry of Religion Affairs and a doctor candidate in the Islamic Psychology in State Islamic University (UIN) Jakarta.

Friday, September 17, 2010

Tantangan Moral Anak Bangsa

Thobib Al-Asyhar
(Penulis buku Fikih Gaul dan Sufi Funky, kandidat doktor bidang psikologi Islam UIN Jakarta)

Sekitar tahun 2002, ketika buku Jakarta Undercover (2002), karya Muammar MK, masih dipasarkan secara indie dan belum menjadi buku best-seller, penulis menyampaikan kepada pengurus MUI DKI tentang isi buku tersebut. Tujuan penulis adalah untuk bahan masukan kepada MUI tentang fenomena pergaulan bebas (free sex) di masyarakat yang sudah begitu parah, khususnya Jakarta. Saat itu penulis berpendapat, lembaga keagamaan Islam harus menjadikan isi buku tersebut sebagai bahan evaluasi, kajian, dan rencana aksi dalam pembinaan umat ke depan.

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi (khususnya internet), hampir sepuluh tahun setelah terbitnya buku tersebut, fenomena kehidupan bebas masyarakat seperti terjadi loncatan (skip) yang jauh. Munculnya berbagai pemberitaan di media massa tentang gaya hidup hedon generasi muda menjadi bukti betapa masyarakat kita sedang berada pada kondisi shock culture (kekagetan budaya). Fenomena kumpul kebo, perzinahan, perselingkuhan yang didokumentasikan dalam gambar digital dan video yang disebarluaskan melalui dunia maya telah semakin massif. Gambar bugil dan video porno yang dibintangi oleh penduduk pribumi bermunculan bak jamur di musim hujan. Mulai dari pelajar SMP dan SMA, mahasiswa, pengusaha, hingga kalangan selebriti dan mantan anggota DPR. Menurut data JBDK, video porno dengan ”bintang film” dan ”karya” anak negeri berjumlah lebih dari 500 buah, dan kemungkinan akan terus bertambah.

Kasus video mesum artis top tanah air beberapa waktu lalu seperti diingatkan kembali pada kasus-kasus sebelumnya. Sungguh, ini adalah fenomena sosial yang sangat memprihatinkan. Sebuah gambaran moralitas yang tidak pernah terbayangkan 20 tahun sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya yang terjadi pada masyarakat kita, khususnya generasi muda?

Banyak para ahli sosial berpendapat, bahwa fenomena pergaulan bebas yang direkam dalam teknologi digital, disamping karena faktor pergeseran nilai-nilai moral yang disebabkan oleh banyak faktor, sesungguhnya merupakan bukti kegagapan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Banyak masyarakat yang belum mengerti, apa sesungguhnya manfaat dan madharat teknologi digital.

Menurut pakar telematika, peristiwa yang direkam dalam kamera, sesungguhnya telah mengabadikan peristiwa tersebut dalam arti sesungguhnya, karena gambar yang telah dihapus ternyata dapat di-recovery dengan software khusus. Apalagi direkam dengan menggunakan kamera HP yang terhubung dengan satelit, maka sangat mungkin dapat dilihat atau dicuri oleh orang lain. Dengan demikian, sebuah peristiwa yang sangat pribadi sekalipun, jika direkam dalam kamera digital, sejatinya telah disimpan dalam ruang publik.

Psikologi Moral

Terus, apa tanggapan kaum agamawan terhadap fenomena tersebut? Jelas, mereka mengatakan bahwa masyarakat, khususnya generasi mida telah mengalami problem moral yang sangat memprihatinkan. Mereka sedang berada pada titik nadir peradaban umat manusia yang paling rendah, karena telah meninggalkan nilai-nilai etis dan religius yang selama ini menjadi pegangan hidup. Meminjam istilah al-Quran, jika manusia tidak mengindahkan lagi batas-batas moral, maka mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi.

K. Bertens, dalam bukunya Etika (2007) mengatakan bahwa moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahapan perorangan maupun sosial. Moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak pada makhluk lain, dan makhluk yang paling dekat dengan manusia adalah binatang. Karena itu, dalam terminologi filsafat, untuk menentukan kekhususan manusia sering dibandingkan dengan binatang. Dalam ilmu logika, manusia didefinisikan sebagai binatang yang berfikir (al-hayawan al-nathiq).

Kemudian, apa yang dimaksud moral itu? Para ahli mendefinisikan moral sebagai perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik dan buruk, meskipun tidak berlaku untuk semua orang dan bangsa. Baik dan buruk dalam arti etis memiliki peranan sangat penting dalam hidup manusia. Bukan saja sekarang ini, tetapi juga masa lampau dan sepanjang masa. Ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah menjelaskan bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang mana yang harus dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana perbuatan moral itu muncul dan berkembang? Menurut Jean Piaget, seorang psikolog Perancis mengatakan bahwa kemunculan dan perkembangan moral ditentukan oleh perkembangan kognitif seseorang. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg, psikolog Amerika, dalam Stage of Moral Development (1971), bahwa perkembangan moral manusia ditentukan oleh tiga tahap, yaitu tahap pra-konvensional, konvensional dan pasca-konvensional. Demikian juga Ibn Miskawaih mengatakan bahwa moral manusia mengikuti perkembangan daya-daya jiwanya, seperti akal, hati, dan nafs.

Inti dari pendapat para ahli tersebut menegaskan, bahwa perkembangan moral seseorang lebih ditentukan oleh perkembangan rasionya. Artinya, semakin tinggi kualitas rasio atau kemampuan akademik seseorang, seharusnya semakin tinggi kualitas moralnya. Apalagi, tujuan dari pencapaian akademik adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang maju, baik dan bahagia.

Jika dihubungkan dengan fenomena terkuaknya gaya hidup dan perilaku selebritas kita melalui gambar-gambar bugil dan video mesum belakangan ini, seperti membalikkan teori para ahli tersebut, bahwa tingkat rasio yang lebih baik, seperti selebriti, politisi, pengusaha atau kaum terdidik lainnya yang dianggap sebagai kasta kelas atas, tidak berbanding lurus dengan kualitas moralnya. Posisi sosial yang terhormat di tengah masyarakat, tidak menjadikan diri mereka untuk lebih baik, meskipun masih banyak di antara mereka yang baik.

Menarik apa yang dikatakan Al-Ghazali dalam membagi manusia kepada empat kelompok kriteria moral, yang juga bisa untuk memetakan moral masyarakat:

Pertama, seseorang yang sepenuhnya lugu atau polos yang tidak mampu membedakan antara yang baik dan buruk, tetap dalam keadaan fitrah seperti ketika dilahirkan, dan dalam keadan kosong dari segala kepercayaan. Ambisinya tidak begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai kesenangan hidup. Orang seperti ini sangat cepat dalam proses perbaikan moralnya, dengan cukup membutuhkan pembimbing dalam hidupnya.

Kedua, seseorang yang secara pasti telah mengetahui sesuatu yang buruk tetapi ia belum terbiasa mengerjakan perbuatan baik, bahkan ia cenderung mengikuti hawa nafsunya melakukan perbuatan-perbuatan buruk daripada mengikuti pertimbangan akal sehat untuk melakukan perbuatan baik. Perbaikan moral seperti ini tentu tingkat kesulitannya melebihi dari tipe pertama. Sebab, usaha yang harus dilakukan bersifat ganda, selain mencabut akar-akar kebiasaan buruknya, orang tersebut secara serius dan konsisten melakukan latihan-latihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Namun, jika hal ini dilakukan sungguh-sungguh, maka perbaikan moral akan terlaksana.

Ketiga, seseorang yang berkeyakinan bahwa perangai-perangai buruk merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dan perbuatan itu dianggap baik dan menguntungkan. Orang tersebut tumbuh dengan keyakinan seperti itu. Terhadap kriteria orang seperti ini, maka sungguh merupakan usaha yang sangat berat dan jarang sekali yang berhasil memperbaikinya. Karena terlalu banyak penyebab kesesatan jiwanya.

Keempat, seseorang yang diliputi pikiran-pikiran buruk, seiring dengan pertumbuhan dirinya, dan terdidik dalam pengalaman (lingkungan) yang buruk. Sehingga ketinggian derajatnya diukur dengan seberapa banyak perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan dan bahkan dengan banyaknya jiwa-jiwa manusia yang ia korbankan. Orang seperti ini berada dalam tingkatan orang yang paling sulit untuk diobati. Usaha memperbaiki moralitas orang ini bisa dikatakan sia-sia. Wallahu a’lam bish-shawab.

Monday, August 30, 2010

Ego Spiritual Orang Saleh

Oleh Thobib Al-Asyhar

Selepas dari pesantren pada tahun 1992, penulis melanjutkan kuliah di IAIN Jakarta. Sebagai alumni pesantren yang merasa memiliki bekal agama, penulis beranggapan bahwa hidup di Jakarta harus penuh hati-hati, karena gaya hidup orang Jakarta sudah sangat tercemar oleh budaya hedonisme.

Ketika pamit kepada sang kyai, penulis diwasiatkan agar tidak menanggalkan kopyah yang telah menjadi budaya di pesantren.

Untuk menjalankan amanat sang kyai, penulis berusaha untuk konsisten menggunakan kopyah dimanapun, seperti ketika sholat, kuliah, mengajar privat di suatu tempat, atau sekedar keluar membeli makanan di Warteg sekalipun. Sehingga ada orang yang menyindir penampilan penulis saat itu sebagai “makhluk gua”. Sedih? Pasti! Bukan hanya penampilan fisik saja, sikap sehari-hari penulis juga betul-betul dijaga dengan perilaku yang khas santri, tawadhu, menjaga pandangan, dan tentu saja menjalankan ritual secara konsisten, seperti sholat berjamaah, membaca al-Quran selepas maghrib, wirid panjang, dan hidup sederhana.

Namun, di balik “kesalehan” itu, dalam diri penulis seperti ada ego tinggi sebagai orang “saleh”. Melihat teman yang tidak sholat tepat waktu, misalnya, dalam hati terbesit celaan, wah ini orang males banget ya? Apalagi melihat tukang bangunan yang merokok pada bulan Ramadhan, penulis sering bergumam, sudahlah hidup di dunia susah, tidak sholat, nggak mau puasa, bagaimana nanti di akhirat? Bahkan dalam hati sering berkhayal menjadi seorang tentara dengan gagah berani menghajar tukang-tukang bangunan yang tidak menghargai bulan puasa itu. Jadi, sebagai orang yang memiliki ego “saleh” saat itu, penulis menganggap orang yang secara kasat mata melanggar aturan agama sebagai orang perilaku buruk yang kelak pasti masuk neraka. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa atas semua prasangka masa laluku.

Setelah penulis kuliah di IAIN yang mengajarkan tentang banyak perspektif dalam beragama, kemudian penulis menyadari bahwa di awal tinggal di Jakarta, penulis mengalami “sentimen” kesalehan. Hal ini dapat dimaklum, karena pesantren mengajarkan agama dari sedikit sudut pandang, khususnya Islam ala mazhab syafii dan ritualisme sebagai simbol kesalehan itu sendiri. Dari kesadaran ini, kemudian penulis memaknai pesan kyai yang tidak boleh menanggalkan kopyah sebagai nilai kesalehan yang harus dipegang, dimanapun berada. Karena mengenakan kopyah di semua momen, disamping secara fisik cukup merepotkan, seperti ketika naik Metro Mini berpotensi kesenggol dan terinjak-injak penumpang lain, kopyah hanyalah budaya masyarakat pesantren yang tidak berkorelasi dengan kesalehan sejati.

Dari pengalaman hidup penulis tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa orang yang merasa dirinya “saleh” cenderung memiliki ego sebagai orang baik yang merasa lebih unggul dibandingkan orang lain. Perasaan inilah yang penulis istilahkan sebagai ego-spiritual. Munculnya ego-spiritual disebabkan karena kuatnya perasaan saleh dalam diri seseorang, sehingga dia merasa pantas menilai orang lain sesuai persepsinya, meskipun dalam banyak kasus, dia melakukan pelanggaran-pelanggaran norma agama. Kejadian seperti ini sering menimpa orang yang menganggap kesalehan dari aspek lahir saja. Contoh yang paling sederhana adalah orang yang menggunakan kopyah putih, berbalut sorban, berbaju gamis, berjenggot, yang secara lahir saleh, namun di antara mereka justru ada yang melakukan kekerasan atas nama agama, seperti menyerang kafe, diskotik, atau kelompok orang yang dianggap menyimpang. Bahkan sebagian telah mewujud dalam aksi-aksi terorisme.

Demikian juga orang yang berpenampilan fisik seperti kyai, ustadz, baik cara berpakaian, tutur kata atau bahkan jidatnya terdapat titik hitam seperti bekas sujud dan sering memberikan dakwah dimana-mana, ternyata dalam kesehariannya tidak menunjukkan perilaku saleh sebagaimana seharusnya seorang kyai atau ustadz. Betapa banyak orang semacam ini yang ternyata masih mau mengambil harta yang bukan haknya, misalnya, seperti melakukan mark-up anggaran, atau bahkan melakukan korupsi dalam arti konvensional di lingkungan birokrasi.

Di lingkungan masyarakat, betapa banyak orang semacam ini yang melakukan kebohongan kepada istri dan anak-anaknya dengan berpoligami di bawah tangan. Meskipun boleh secara agama, namun jelas menyakiti keluarganya. Sementara di luaran sana mereka mengajarkan tentang kejujuran, kesantunan, dan nilai-nilai baik lainnya. Ini menunjukkan bahwa perasaan saleh dalam diri mereka telah menutup mata hati untuk menyadari kelemahan-kelemahan diri, sehingga merasa telah menjadi orang saleh. Padahal tanpa sadar, kesehariannya justru sering melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang selalu diajarkan.

Ada ungkapan menarik dari seorang sufi yang berbunyi: zayyinu anfusakum bi al-ma’shiyyah, wala tuzayyinu anfusakum bi al-maghfirah (hiasilah dirimu dengan merasa banyak dosa/maksiat, dan janganlah menghiasi dirimu dengan merasa banyak ampunan). Ungkapan sufi ini begitu bijaknya, karena merasa dirinya saleh adalah penyakit batin yang luar biasa. Imam al-Ghazali menyebutnya sebagai penyakit ‘ujub yang dikategorikan sebagai sifat yang merusakkan amal baik (al-aushaf al-muhlikat). Sedangkan perasaan diri banyak dosa/maksiat, merupakan sifat tawadhu’ yang sangat dianjurkan oleh Islam.

Bukankah semua ritual agama bertujuan untuk melembutkan hati, dan membimbing kerendahan hati dengan menutupi amal baiknya dan selalu mengingat kebaikan orang lain. Intinya, orang beragama yang benar adalah ketika di dalam hatinya tidak ada ego-spiritual yang mengandung unsur kesombongan diri. Dalam sebuah ayat al-Quran disebutkan: janganlah kalian merasa beriman, sementara kalian sedang diuji. Dalam ayat lain disebutkan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan Islam (kepasrahan total).

Oleh karena itu, orang yang benar-benar beriman, apalagi yang seakan-akan beriman, perlu mengevaluasi sikap dan perilakunya, agar jalan spiritualnya tidak dihinggapi ego yang tinggi yang dapat merusakkan kesalehan sejati. Sekarang waktunya mengevaluasi diri, adakah ego-spiritual di dalam diri kita, meskipun hanya sebesar biji sawi (dzarrah)? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Wallahu a’lam.

Thobib Al-Asyhar, alumni pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, penulis buku-buku keislaman, kandidat doktor bidang Pengkajian Islam UIN Jakarta.

Sunday, August 15, 2010

Ramadhan dan Kecerdasa Sosial

Bahrul Hayat, Ph. D.
(Sekretaris Jenderal Kemenag RI)

Ayat al-Quran yang sering dijadikan rujukan atas kewajiban ibadah puasa adalah QS:2:183. Surat ini menegaskan bahwa tujuan diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang beriman adalah agar mereka menjadi kaum yang bertakwa. Takwa adalah melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah karena mengharapkan pahala dari-Nya, dan meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut akan siksa-Nya.

Secara psikologis, pembentukan konsepsi takwa melalui ibadah puasa secara lebih operasional dapat diartikan sebagai pembentukan watak atau karakter yang memiliki kecerdasan ketangguhan (adversity intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence), dan kecerdasan sosial (social intelligence) yang menjadi ukuran dari kualitas diri seseorang.

Pertama, kecerdasan adversity, yaitu kondisi psikologis seseorang yang mampu menghadapi berbagai kesulitan dan cobaan hidup yang dialaminya. Melalui ibadah puasa, seseorang sedang membangun kecerdasan ketangguhan melalui kemampuannya menahan lapar dan haus, serta berbagai godaan nafsu lainnya. Pada tahapan ini, dia merupakan individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi. Individu ini dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi.

Kedua, kecerdasan emosional, yaitu kondisi psikologis seseorang untuk dapat menyadari dirinya (self-awareness) dan mengelola dirinya (self-management) secara produtif. Dengan berpuasa seseorang dilatih batin dan ruhaninya untuk peka dan sensitif terhadap dirinya sendiri dan sekaligus mengelola batinnya sehingga kalbunya memancarkan radar untuk dapat melihat dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana yang bermanfaat dan yang merusak bagi dirinya. Sebagaimana dikatakan Antoine De Saint-Exupery dalam The Little Prince ” It is with the heart that one sees rightly; what is essential is invisible to the eye.

Ketiga, kecerdasan sosial, yaitu kecerdasan yang terbentuk ketika hendak membangun sebuah relasi yang produktif dan harmonis. Selain dapat membangkitkan solidaritas sosial, hikmah ibadah puasa dapat meningkatkan kualitas relasi dengan sesama, seperti kerabat, tetangga, rekan kerja atau atasan. Relasi ini sangat mungkin berjalan dengan baik jika seseorang mampu mendemonstrasikan sejumlah elemen penting dalam kecerdasan sosial.

Terdapat lima elemen kunci kecerdasan sosial, yaitu: pertama, situational awareness (kesadaran situasional). Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain. Contoh, orang yang merokok di ruang ber-AC tanpa merasa bersalah adalah orang yang tidak memiliki kesadaran situasional.

Kedua, presense atau kemampuan membawa diri. Bagaimana etika penampilan, tutur kata, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya.

Ketiga, authenticity (autensitas) atau sinyal dari perilaku seseorang yang akan membuat orang lain menilainya sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan ketulusan. Elemen ini amat penting, sebab hanya dengan aspek inilah seseorang dapat membentangkan relasi yang mulia dan bermartabat.

Keempat, clarity (kejelasan). Aspek ini menjelaskan sejauh mana seseorang dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan idenya secara renyah dan persuasif, sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Sering seseorang memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara lebih tepat, sehingga atasan atau rekan kerja tidak berhasil diyakinkan.

Kelima, empathy (atau empati). Aspek ini merujuk pada sejauh mana seseorang dapat berempati pada gagasan dan penderitaan orang lain. Sejauh mana kita memiliki keterampilan untuk bisa mendengarkan, memahami pemikiran orang lain, dan melakukan aksi nyata untuk meringankan penderitaan orang lain. Perasaan lapar dan haus dapat ditindaklanjuti dengan semangat kedermawanan melalui zakat, infak, sedekah dan ibadah sosial lainnya.

Oleh karena itu, ibadah puasa yang sedang kita lakukan selama bulan Ramdhan ini hendaknya dapat membentuk tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan adversity (ketangguhan), kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial yang menjadi ciri utama kualitas diri seorang mukmin yang bertakwa◊

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pikiran Rakyat)

Wednesday, August 04, 2010

Insting Binatang Membaca Tanda-tanda Alam

Oleh Muhammad Anis
(Dosen dan Kandidat Doktor UIN Jakarta)

Seringkali kita mendengar perkataan orang-orang tua kita saat melihat kupu-kupu yang masuk ke rumah, bahwa akan ada tamu yang datang. Atau ketika melihat burung gagak yang terbang berputar-putar di atas daerah tertentu, bahwa saat itu terdapat atau akan terjadi orang meninggal dunia di daerah tersebut.

Sebagian orang menganggap hal ini sebagai mitos, bahkan tak jarang yang menganggapnya tahyul (khurafat) yang mesti dijauhi karena bisa menyesatkan. Namun, semestinya tidak perlu terburu-buru untuk memberikan kesimpulan seperti itu pada riwayat-riwayat tersebut. Karena, sangat mungkin hal itu merupakan bagian dari tanda-tanda alam yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia.

Sains membuktikan bahwa hewan memiliki keunikan tertentu yang tak dimiliki manusia. Sebagai contoh Kelelawar, yang mampu memancarkan gelombang ultrasonik dari mulutnya, yang bisa memantul balik bila mengenai benda di depannya dan dapat ditangkap kembali oleh telinganya, sehingga dia dapat terbang cepat dan aman di gelap gulita malam. Demikian pula Gurita, yang mampu berkamuflase dengan mengubah bentuk dan warna tubuhnya sesuai dengan bentuk dan warna lingkungan di sekitarnya.

Bahkan hewan juga memiliki insting (kepekaan) yang melebihi manusia. Sebagai contoh Laba-laba, yang memiliki kemampuan merasakan dan menentukan arah getaran yang sangat lembut pada jaring-jaringnya. Elang, dengan ketajaman matanya yang mampu menangkap gerakan ikan dalam air dari ketinggian di udara sembari terbang. Bahkan pernah diberitakan tentang kemampuan Anjing dalam melakukan deteksi dini terhadap gejala penyakit kanker seseorang, dengan hanya mengendus urine orang tersebut.

Tak hanya itu, keandalan insting hewan ini bahkan terbukti pula pada musibah tsunami yang telah memporak-porandakan Aceh dan Sumut. Seorang pakar margasatwa Sri Lanka, H.D. Ratnayake, meyakini hal ini setelah mengetahui bahwa tidak ditemukan bangkai hewan liar pasca tsunami gigantik di Samudera Hindia tersebut. Padahal dalam bencana ini, puluhan ribu orang tewas di sekitar pesisir pantai Laut India. Ia mengatakan bahwa hewan-hewan memiliki indera keenam dan bisa mendeteksi keberadaan gempa yang disusul gelombang tsunami, sehingga mereka berhasil menyelamatkan diri hanya beberapa saat sebelum terjadinya bencana.

Sebagaimana yang juga diberitakan, Taman Nasional Binatang Liar Yala adalah cagar satwa liar terbesar di Sri Lanka, di mana di dalamnya terdapat gajah, rusa, srigala, buaya, dan binatang-binatang lainnya. Ketika tsunami terjadi, air laut naik dan menggenangi tanah di darat hingga sejauh 3,5 kilometer serta menghancurkan bangunan-bangunan di taman. Banyak wisatawan dan pegawai taman yang tewas ditelan gelombang. Namun, di luar dugaan, berbagai jenis binatang liar di taman itu dapat lolos dari bencana tersebut.

Pakar hewan lainnya, Clive Walker, yang telah menulis beberapa buku tentang kehidupan satwa liar di Afrika, juga memercayai adanya indera keenam atau insting tajam pada hewan. Ia berkata, “Satwa liar tampaknya bisa mengetahui fenomena yang akan terjadi, terutama burung-burung. Banyak laporan yang menyatakan bahwa burung-burung berhasil mendeteksi bencana alam yang akan terjadi.”

Demikian pula dengan pengurus Cagar Harimau Liar di Pulau Sumatera, Debby Melt, yang berpendapat bahwa hewan liar sangat peka terhadap bencana alam. Indera dengar binatang sangat peka. Mereka sangat mungkin lebih dulu merasakan akan terjadinya tsunami. Selain itu, getaran yang ditimbulkan oleh tsunami dapat mengakibatkan perubahan tekanan udara, sedangkan perubahan tekanan udara bisa memberikan peringatan dini, dan mengingatkan binatang untuk pindah ke tempat yang aman.

Ada kisah menarik lainnya, di mana kehebatan insting hewan telah mampu menyelamatkan ribuan nyawa. Pulau Makiyan adalah pulau kecil di Maluku Utara yang terkenal sebagai penghasil cengkeh, pala, dan kenari. Kesuburan pulau ini dikarenakan tanahnya yang berasal dari letusan gunung berapi. Gunung Kiebesi meletus dahsyat pada tahun 1760, yang menelan korban jiwa sekitar 2000 orang. Gunung ini kemudian meletus kembali pada tahun 1988, namun anehnya tanpa menelan korban jiwa. Padahal letusan tersebut telah melenyapkan puluhan desa serta ratusan hektar kebun cengkeh, pala, dan sebagainya. Ternyata, hal ini dikarenakan penduduk pulau tersebut telah lebih dulu mengungsi, ketika gunung itu baru mengeluarkan asap.

Meskipun gunung tersebut memang selalu mengeluarkan asap dan masyarakat telah terbiasa dengan itu. Namun, keyakinan mereka akan terjadinya bencana alam muncul ketika melihat naiknya ikan-ikan di sekitar pantai dalam jumlah yang sangat besar, dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, mereka juga melihat banyaknya babi yang keluar dari hutan, hingga mendekat ke kampung-kampung. Meskipun babi adalah salah satu hewan yang tidak asing bagi mereka, namun babi yang keluar saat itu adalah dalam jumlah besar yang tidak seperti biasanya. Karena itu, mereka menganggap bahwa ini merupakan pertanda bahaya. Benar, tak lama kemudian, gunung Kiebesi meletus dahsyat. Wallahu A'lam.[]

Monday, August 02, 2010

PEMBENTUKAN KARAKTER MANUSIA MENURUT PARA AHLI

Thobib Al-Asyhar
(Alumni PSTTI UI, saat ini Mahasiswa Program Doktor Psikologi Islam UIN Jakarta)

Dalam buku The Psychology of Moral Development (1927), Lawrence Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. Teori yang dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.

Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku. Kohlberg lebih menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian. Sementara potensi fitrah merupakan konsep keagamaan yang dianggap tidak empirik karena di dalamnya memuat keyakinan tentang struktur jiwa manusia, seperti ruh, akal, qalb dan nafs.

Sementara jauh sebelumnya, Sigmund Freud memiliki pendapat tentang potensi pada diri manusia yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu: id, ego, dan superego (es, ich, ueberich). Menurutnya, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psiko-seksual tertentu pada enam tahun pertama dalam kehidupannya. Berdasarkan teorinya tersebut, Freud menyimpulkan bahwa moralitas merupakan sebuah proses penyesuaian antara id, ego, dan superego. Titik lemah terbesar Freud dan para penganutnya bukan pada kesalahan teorinya, tetapi adalah over generalisasi dari teori tersebut, sehingga dalam kacamata Freud, manusia dapat dikatakan tidak berbeda dengan binatang, bahkan lebih menderita karena tidak sebebas binatang dalam melampiaskan nafsunya.

Di sisi lain, ada tokoh psikologi Barat, William James, berpendapat dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1982) yang menyebutkan bahwa manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama), yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama. James tidak menyetujui pandangan para pakar yang menganggap fenomena keagamaan ruhaniah manusia selalu berkaitan dengan –bahkan berawal dari-- kondisi psiko-fisiologis dan kesehatan seseorang. Ia menentang pandangan materialisme medis yang mereduksi agama dan pengalaman religius yang sifatnya spiritual, menjadi sesuatu yang bersumber dari gangguan syaraf. Menurut telaah James terhadap pengalaman spiritual-religius, bahwa pengalaman religius individu-individu berkaitan dengan integritas kepribadian yang baik. Penghayatan seperti itulah oleh William James disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power). Artinya, adanya pengakuan terhadap kekuatan di luar diri yang serba Maha dapat dijadikan sebagai sumber nilai-nilai luhur abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.

Di dalam Islam, Al-Ghazali memiliki pandangan unik tentang pebentukan karakter manusia dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (tt). Ia menyatakan bahwa sumber pembentukan karakter yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah (asma’ al-Husna) dalam perilaku seseorang. Artinya, untuk membangun karakter yang baik, sejauh kesanggupannya, manusia meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya. Sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan taqarub kepada Tuhan. Karena itu, Al-Ghazali tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir tetapi juga kebersihan ruhani.

Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang sholat, puasa, dan haji, dapat disimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan ruhani. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa amal itu baik ketika menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan itu. Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali ditemui dalam semboyan tasawuf yang terkenal al-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyan yang lain, al-shifatir-rahman ala thaqalil–basyatiyah.

Sementara dalam kitabnya, Tahdzib al-Akhlaq, Ibnu Makawaih menunjukkan fakta-fakta kompleksitas konseptual dalam pembentukan watak seseorang. Watak yang baik dapat dibentuk melalui tindakan yang benar, terorganisir dan sistematis. Menurutnya, jiwa adalah abadi dan substansi bebas yang mengendalikan tubuh. Jiwa adalah intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah. Kebahagiaan timbul melalui gerakan keatas, kemalangan melalui gerakan dalam arah berlawanan. Menurutnya, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk keberadaan rendah.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Muhammad Usman Najati dalam bukunya berjudul al-Quran wa Ilm an-Nafs (2005) bahwa dalam kepribadian manusia terkandung sifat-sifat hewan yang tercermin dalam berbagai kebutuhan fisik yang harus dipenuhi, dalam rangka menjaga diri dan keberlangsungan hidupnya. Selain itu, dalam kepribadiannya juga terkandung sifat-sifat malaikat yang tercermin dalam kerinduan ruhaninya untuk mengenal Tuhan, beriman kepadaNya, menyembah kepadaNya dan mensucikannNya.

Dengan demikian, dalam karakter penciptaan manusia terdapat kecenderungan untuk berbuat baik dan jahat; kecenderungan untuk menuruti hawa nafsu fisiknya dan tenggelam dalam menikmati kesenangan; dan kecenderungan untuk mencapai puncak keutamaan, ketakwaan, cita-cita luhur kemanusiaan, dan amal baik, serta ketenangan jiwa dan kebahagiaan spiritual yang diwujudkannya. Dalam pandangan Usman Najati, bahwa pola pembentukan kepribadian manusia tidak terlepas dari kedua potensi tersebut dan akan berkembang sesuai dengan proses kehidupannya. Namun, terdapat potensi fitrah yang sangat berperan, selain konsep sosial dalam proses pembentukan karakter seseorang.

Dari berbagai pendangan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep pembentukan karakter manusia dapat dilihat dari banyak aspek. Menurut ilmuan Barat lebih memandang manusia dari kaca mata empiristik. Sedangkan dalam perspektif Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi fitrah dimana terdapat daya-daya yang dapat memunculkan sebuah sikap dan perilaku yang tidak lepas dari stimulus dari luar. Artinya, Islam memandang, karakter manusia tidak murni karena faktor potensi, tetapi juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Bahan Bacaan
1.Lawrence Kohlberg, The Psychology of Moral Development (1927)
2.Sigmund Freud,Three Essays on the Theory of Sexuality (2000)
3.William James, The Varieties of Religious Experience (1982)
4.Imam Al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnā Syarh Asma Allah al-Husna (tt)
5.Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlaq (tt.)
6.Muhammad Usman Najati, al-Quran wa Ilm an-Nafs (2005)

Thursday, July 29, 2010

MENELUSURI HAKIKAT SEHAT DAN SAKIT

Oleh Thobib Al-Asyhar
(Mahasiswa Program Doktor Psikologi Islam UIN Jakarta)

Sehat dan sakit adalah keadaan biopsikososial yang menyatu dengan kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep ini kemungkinan bersamaan dengan pengenalannya terhadap kondisi dirinya. Keadaan sehat dan sakit tersebut terus terjadi, dan manusia akan memerankan sebagai orang yang sehat atau sakit.
Konsep sehat dan sakit merupakan bahasa kita sehari-hari, terjadi sepanjang sejarah manusia, dan dikenal di semua kebudayaan. Meskipun demikian untuk menentukan batasan-batasan secara eksak tidaklah mudah. Kesamaan atau kesepakatan pemahaman tentang sehat dan sakit secara universal adalah sangat sulit dicapai.
Pengertian
Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat kita rasakan dan diamati keadaannya. Misalnya, orang tidak memiliki keluhankeluahan fisik dipandang sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa orang yang “gemuk” adalah otrang yang sehat, dan sebagainya. Jadi faktor subyektifitas dan kultural juga mempengaruhi pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat.
Sebagai satu acuan untuk memahami konsep “sehat”, World Health Organization (WHO) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurnan baik fisik[2], mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Dalam definisi ini, sehat bukan sekedar terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun tentunya belum tentu dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial.
Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatau keadaan ideal, dari sisi biologis, psiologis, dan sosial. Kalau demikian adanya, apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara biopsikososial? Untuk mendpat orang yang berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna itu sulit sekali, namun yang mendekati pada kondisi ideal tersebut ada.[3]
Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang itu mempunyai 4 dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya.Keempat dimensi holistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.Agama/spiritual, yang merupakan fitrah manusia. Ini merupakan fitrah manusia yang menjadi kebutuhan dasar manusia (basic spiritual needs), mengandung nilai-nilai moral, etika dan hukum. Atau dengan kata lain seseorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seseorang yang bermoral dan beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without law).
b.Organo-biologik, mengandung arti fisik (tubuh/jasmani) termasuk susunan syaraf pusat (otak), yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi, dan setrusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut.
c.Psiko-edukatif, adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua (ayah dan ibu) termasuk pendidikan agama. Orang tua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orang tuanya. Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti hingga usia 18 tahun.
d.Sosial-budaya, selain dimensi psiko-edukatif di atas kepribadian seseorang juga dipengaruhi oleh kultur budaya dari lingkungan sosial yang bersangkutan dibesarkan.[4]
Sebagai kebalikan dari keadaan sehat adalah sakit. Konsep “sakit” dalam bahasa kita terkait dengan tiga konsep dalam bahasa Inggris, yaitu disease, illness, dan sickness. Ketiga istilah ini mencerminkan bahwa kata “sakit” mengandung tiga pengertian yang berdimensi psikososial. Secara khusus, disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis. (Calhoun, dkk, 1994).
Disease penyakit berarti suatu penyimpangan yang simptomnya dikatahui melalui diagnosis. Penyakit berdimensi biologis dan obyektif. Penyakit ini bersifat independen terhadap pertimbangan-pertimbangan psikososial, dia tetap ada tanpa dipengaruhi keyakinan orang atau masyarakat terhadapnya, seperti tumor, influensa, AIDS dan lain-lain.
Illness adalah konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi, atau pengalaman subyektif seseorang tentang ketidaksehatannya atau keadaan tubuh yang dirasa tidak enak. Sebagai pengalama subyektif, maka illness ini bersifat individual. Seseorang yang memiliki atau terjangkit suatu penyakit belum tentu dipersepsi atau dirasakan sakit oleh seseorang tetapi oleh orang lain hal itu dapat dirasakan sakit.
Sedangkan Sickness merupakan konsep sosiologis yang berakna sebagai penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan (illness atau disease). Dalam keadaan sickness ini orang dibenarkan melepaskan tanggung jawab, peranm atau kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat karena danya ketidaksehatannya.Kesakitan dalam konsep sosiologis ini berkenaan dengan peran khusus yang dilakukan sehubungan dengan perasaan kesakitannya dan sekaligus memiliki tanggung jawab baru, yaitu mencari ksembuahn.
Karena pengertian “sakit” itu dapat berdimensi subyektif-kulturalistik, maka setiap masyarakat memiliki pengertian sendiri tentang sakit sesuai pengalaman dan kebudayaannya. Peran sakit hanya dilakukan dan diakui oleh masyarakatnya jika sesuai dengan pertimbangan nilai, keyakinan dan norma sosialnya.[5]

A. Sudut Pandang Metafisika/Fisik

Dari sudut pandang fisika dan kajian metafisika telah dihipotesiskan bahwa “titik” hubungan antara Khalik dan makhluk adalah bion, berupa timbunan daya (energi) yang menjadi pembawa hayat. Dugaan ini telah diungkapkan oleh dokter Paryana Suryadipura dalam bukunya Manusia dengan Atomnys dalam Keadaan Sehat dan Sakit. Perkataan bion itu berasal dari kata bio-ion yang artinya ion yang hidup, yang dengan perkataan lain disebut bio-elektricitet. Dalam bahasa Sansekerta dinamakan prana, dan dalam bahasa Arab disebut ruh.
Semua fungsi hayati dilaksanakan oleh bion yang dilepaskan oleh badan rohani yang dikenal dengan jismul latifah, yang dalam istilah metafisika disebut tubuh bioplasmatik. Energi ruh itu mengalir ke dalam tubuh kasar melalui pusaran energi yang disebut cakra.Choa Koh Sui, dalam bukunya, The Ancient Science and Art of Pranic Healing, menjelaskan panjang lebar mengenai cakra ini; begitu pula Ric A. Weinman dalam bukunya, Your Hands Can Heal, Learn to Channel healing Energi. Dari kajian mereka, dapat disimpulkan, ada tujuh cakra mayor yang merupakan kompenen utama dari tubuh elektrik manusia, yaitu cakra dasar, cakra seks, cakra solar plexus, cakra jantung, cakra tenggorokan, cakra alis, dan cakra mahkota.
Cakra Dasar
Cara ini merupakan cakra kelangsungan hidup yang terletak di dasar tulang punggung. Cakra ini berfungsi mengatur keberadaan fisik dan naluri kelangsungan hidup, karena itu rasa takut mati muncul di sini. Cakra ini mempengaruhi kelenjar adrenal, ginjal, kandung kemih, dan semua organ yang berkaitan dengan rasa takut. Bila hidup selalu merasa aman dan terjamin maka cakra ini akan bercahaya terang. Akan tetapi, kalau cakra ini redup, maka akan timbul penyakit pada fisik, di antaranya kanker, leukimia, mudah alergi, vitalitasi rendah, lemah syahwat, anemia, dan gangguan psikologis.
Cakra Seks
Cakra ini tidak hanya bertugas membangkitkan gairah keasmaraan tetapi juga semua bentuk hubungan intim dan emosi antarpribadi. Cakra ini sangat berpengaruh pada ketenangan dan kedamaian perasaan yang bertempat di atas tulang kemaluan. Jika seseorang merasa terangsang secara seksual, banyak energi bergerak menuju dan memancar dari cakra ini. Cakra ini juga terlibat dalam sistem reproduksi. Jika terdapat hambatan di sini, cakra ini pada akhirnya akan mempengaruhi organ seksual, klenjar prostat, dan daerah panggul sekitarnya.
Cakra Solar Plexus
Cakra ini merupakan pusat keinginan dan kemauan pribadi, bertempat di daerah perut. Karena itu, stres mental, emosi dan semua permasalahan timbul karena desakan keinginan atau kemauan, seperti frustasi, marah, persaingan, pertahanan diri, cemas bahkan kebencian. Ketegangan yang diakibatkan oleh hal-hal tersebut dapat mempengaruhi lambung, hati, kandung empedu, terutama kelenjar pankreas. Maka kegagalan cakra ini dapat menimbulkan sakit lever, kencing manis, maag, dan macam-macam penyakit yang disebabkan oleh kadar asam urat tinggi.
Cakra Jantung
Cakra ini merupakan tempat cinta spiritual tanpa pamrih. Cinta asmara yang emosional meluap dari cakra kedua yang beresonansi dengan cinta spiritual. Bila cakra keempat ini terbuka, maka energinya akan beresonansi dengan cakra yang yang lebih tinggi, dan bila ada hambatan maka akan meluap rasa asing diri, rasa benci diri akibat trauma emosional yang dalam. Sebaliknya cakra ini mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, dengan cara melepaskan emosional itu. Terhadap badan fisik cakra ini mempengaruhi kelenjar thymus yang terletak dekat cakra ini, yaitu di sekitar jantung. Cakra inilah yang pertama-tama berhubungan dengan aspek spiritual. Kegagalan cakra ini dapat menimbulkan sakit jantung yang berhubungan dengan peredaran darah.
Cakra Tenggorokan
Cakra ini terletak di dasar tenggorokan yang mengendalikan kreatifitas, komunikasi, dan kemampuan waskita. Banyak para medium yang dapat menerima berita kegaiban lalu menginformasikan melalui cakra ini. Cakra ini mempengaruhi kelenjar tiroid dana paratiroid yang memproduksi hormon tiroksin yang penting untuk pertumbuhan, serta melancarkan kerja susunan saraf; juga hormon parathormon yang berfungsi merangsang pengeluaran kalsium dari dalam tulang. Kurang berfungsinya cakra ini, dapat menimbulkan penyakit gondok, suara serak, dan sesak napas (asma), yaitu penyakit yang menghambat kemunikasi/informasi.
Cakra Alis
Cakra yang mengendalikan pewaskitaan dan persepsi psikis ini merupakan pintu penerima getaran dari alam gaib. Karena itu, cakra ini dianggap sebagai “mata batin” atau “mata ketiga”. Ada juga yang memberinya istilah “mata indera keenam”. Terhadap tubuh fisik, cakra ini mempengaruhi kelenjar pituitary dan pineal. Kurang berfungsinya cakra ini, dapat menimbulkan penyakit kanker, alergi, dan sebagian penyakit yang berhubungan dengan kelenjar endokrin.
Cakra Mahkota
Cakra ini terletak di atas puncak kepala. Bila cakra ini penuh energi, pusarannya akan membesar melingkari kepala seperti mahkota. Para ahli metafisikan menganggap cakra ini merupakan yang tertinggi; energinya dapat menangkap getaran intelegenci universal. Dengan cakra inilah para nabi menerima wahyu. Energi cakra ini dapat dipakai untuk penyembuhan telepatik. Kekurangan energi pada cakra ini dapat menyebabkan sakit gangguan jiwa.
Demikianlah fungsi cakra- cakra tersebut yang erat hubungannya dengan jasmani dan ruhani. Dengan analisis ini, dapat terjawab pertanyaan tentang mengapa manusia itu sakit.[6]
Dalam perspektif reiki sufistik, cakra-cakra merupakan pintu gerbang spirtual yang harus dibersihkan dan diselaraskan agar mampu menatik energi ilahi untuk melakukan evolusi spiritual. Setap cakra memiliki potensi-potensi psikospirtual yang jika berkembang maka akan bermanfaat dalam peningkatan kesehatan tubuh fisik, ketenagan (muthmainnah) tubuh psikis, keseimbangan mental (tawazun) dan kesempurnaan spiritual (insan kamil). Praktik reiki sufistik merupakan salah satu praktik spirtual menarik energi ilahi untuk pembersihan dan penylelarasan cakra-cakra sebagai basis bagi peninbgkatan kualitas manusia, baik sebagai khalifah fil ardl yang harus memiliki ketangguhan mengelola alam maupun sebagai ‘abd (hamba) yang harus menyembah-Nya dengan kesungguhan.
Cakra-cakra merupakan pusat aktivitas manusia. Masing-masing cakra memilki kemampuan psikis yang luar biasa. Sebagai pusat aktivitas manusia, cakra akan sangat menentukan pola-pola dan bentuk-bentuk aktivitas manusia. Cakra yang bersih akan mendorong keyakinan yang lurus (al-aqidah al-hanafiyah), Syariah yang benar (as-Syariah al-Shahihah) dan moralitas luhur (al-akhlaqul karimah). Begitu juga sebaliknya, cakra yang kotor akan menyebabkan manusia berperangai buruk (al-akhlaqul madzmumah). Cakra yang bersih akan senantiasa berhubungan dengan cahaya, sebaliknya kegelapan akan menjadi karakter manusia yang cakra-cakranya kotor, sehingga terjatuh dalam kehidupan binatang ternak (nafsu syahwatiyyah), binatang buas (nafsu ammarah) atau bahkan kehidupan setan (nafsu syaithaniyyah).
Di dalam reiki sufistik, istilah cakra biasa disebut dengan lathifah (sesuatu yang lembut), karena memang cakra bersifat halus (bukan organ tubuh fisik). Lathifah (organ-organ lembut) sifatnya halus dan tidak empiris.[7]
Di dalam tubuh manusia terdapat cakra mayor, cakra minir dan cakra mini yang secara keseluruhan terdapat 365 cakra. Ada juga yang menyebutkan jumlah cakra secera keseluruhan termasuk cakra-cakra yang mini sebanyak 88.000. Tetapi cakra-cakra yang efektif mengendalikan dan memberi energi kepada organ vital dan organ mayor tubuh manusia hanya 7 (tujuh) cakra seperti yang telah disebut diatas, yang sering disebut sebagai cakra mayor.[8]
Sedangkan, sehat dan sakit dilihat dari sudut pandang fisika dikatakan bahwa di Matahari, setiap terjadi letupan yang berakibat bertambahnya tekanan elektronis di alam. Bila tekanan itu mengenai bumi, akan timbul kegoncangan elektrostatika, sehingga lapangan magnetik teganggu, telegram diterima dengan tidak jelas, penrimaan radio terganggu, udara bergesek menjadi petir, udara naik dan dingin lalu jadi hujan, badai bertiup maka laut bergelombang , dab banyak lagi akibat lain yang tidak disebutkan. Ini semua disebabkan oleh tekanan elektron. Badai elektron yang melanggar dunia sebagai akibat letupan di matahari dinamakan catalysmen. Badai elektron itu disebut cylon. Tekanan elektron ini tidak hayan mempengaruhi alam, benda, tetapi juga jiwa menusia, karena di dalam diri manusia juga ada elektron. Hal itu dapat mengakibatkan zat colloid –yang merupakan lendir itu—menjadi beku, sehingga kuman penyakit akan berkembang biak di atasnya.
Memang setiap orang membawa berjuta bakteri dan virus berbagai jenis dinatas kulitnya, namun tidak semua jadi sakit karenanya. Sebab, datangnya penyakit itu sering terjadi akibat ketidakseimbangan antara elektron dari luar diri. Seperti, atmosfer yang lembab akan menjadi pengantar listrik yang dapat mengambil banyak elektron dari permukaan kulit, yang akan menimbulkan kegoncangan pada keseimbangan daya listrik pada kulit/organ tubuh, terutama otot. Akibatnya, timbul penyakit reumatik. Melalui kaki basah, seseorang dapat kehilangan elektron sehingga menimbulkan penyakit, misalnya penyakit nephritis dan cytitis.Bagaimana mengupayakan agar energi yang mengalir di dalam saraf yang halus itu berjalan dengan ukuran tekanan yang normal? Bagaimana jalan yang telah ditemukan tinggal memilih mana yang lebih tepat untuk diri kita maisng-masing.[9]
B. Sudut Pandang Biologi
Kita sudah mengetahui bahkan akal pikiran dan emosi menusia selalu berubah-ubah dari hari ke hari, dari jam ke jam, malah dari menit ke menit. Hari ini seseorang merasa berduka yang dalam, tapi esoknya ia sudah senang, gembira, tapi satu jam berikutnya ia sudah optimis malah ada yang patah semangat. Apa penyebab semua perubahan ini?
Tidak lain karena terjadi perubahan hormon yang merupakan unsur dasar dalam harmonisasi kesadaran dan perasaan hati manusia. Penyakit gila[10] –sering dianggap akibat kelainan jiwa atau gangguan saraf—disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon di dalam tubuh. Kadangb kekurangan atau kelebihan hormon, misalnya kekuarangan adrenalin dan kelebihan noradrenalin, kekuarang hormon yang diproduksi kelenjar seks, mungkin pula kelenjar hypopise atau epifise yang gagal, bisa terjadi perubahan tingkah laku atau kelainan fisik. Ada jenis hormon lain yang dikeluarkan oleh adrenal –disebut kortizon— yang berfungsi mempersiapkan tubuh untuk melawan kelesuan. Kalau hormon ini tidak diproduksi, seseorang akan merasa tererangkap dalam kelesuan yang berkepanjangan dan tidak dapat diatasinya. Kalau diusut, mengapa kelenjar ini bisa gagal? Tidak lain karena kelenjar ini terlalu letih bekerja. Misalnya, jika tubuh kita mendapat tekanan dalam jangka waktu yang lama, maka kelenjar adrenal mendapat tugas yang berat memproduksi kebutuhan tubuh yang mendesak ini; lama kelamaan ia menjadi cape dan gagal. Apabila kelenjar ini gagal melaksanakan tugasnya, hidup menusia akan terancam bahaya, yang berarti malapetaka akan mengintai.
Kalau kita usut lagi, siapa pula ang megontrol pekerjaan kelenjar ini? Yang mengntrol ini adalah sifat keturunan yang terdapat di dalam gen yang ada dalam sel. Sel sebagai satuan hidup dasar makhluk hidup terdiri atas sitoplasma yang di tengah-tengahnya terdapat sel initi. Inti sel ini mengandung suatu jaringan dan pada jaringan inilah terdapat “gen” (pembawa sifat keturunan). Gen-gen terdapat dalam persenyawaan kimia yang stabil: disiniulah tersimpannya “rahasia kehidupan yang penuh misteri”. Persenyawaan kimia gen ini merupakan disket yang didalamnya telah terpogram sifat bawaan manusia, apakah ia pengecut, pemberani, berhati mulia, berandalan, kuat atau lemah. Persenyawaan kimia ini dinamai Deoxrybo Nucleat Acid (DNA).
Sifat berani ditimbulkan oleh kadar hormon noradrenalin yang tinggi dengan sedikit adrenalin; sifat penakut adalah kebalikannya. Tinggi rendahnya kadar hormon ini bergantung pada perintah yang dikeluarkan oleh sifat keturuan dan jenis DNA yang terdapat dalam inti sel. Molekul-molekul DNA ini tersusun dari gula, asam fosfor, dan empat macam jenis basa: adenin, sitosin, guanin dan tiamin. Kempatnyua tersususn dalam dua buah pita berbentuk spiral. Pita-pita itu sendiri terbuat dari gula dan fosfor lalu basa tadi terlekat di sana. Jadi, bagian terkecil dalam tubuh kita adalah molekul DNA yang menghasilkan eplika dirinya. DNA memulai prosesnya dengan membuka resleting tubuhnya.
Semua jaringan hidup tersebut terbuat dari asam amino yang membentuk protein. Protein merupakan kombinasi dari kira-kira dua puluh asam amino; perbedaan-perbedaan jenis protein itu hanyalah perupakan perbedaan kombinasi yang diuntai dalam susunan tertentu. DNA-lah yang menentukan susunan itu.
Jadi, cakra-caka tertentu merupakan distributor-distributor tubuh rohani yang bertugas mendistribusikan energi untuk kelenjar tertentu di tubuh fisik. Kelenjar bekerja untuk memproduksi hormon di bawah kontrol gen. Di dalam gen terdapat persenyawaan kimia yang stabil yang dinamai DNA. Jadi hidup kita secara keseluruhan adalah hasil dari proses kimia belaka.[11]
Para Penguasa di Kerajaan Tubuh
Kalau dalam tubuh manusia terjadi keadaan yang tidak normal –-seperti cebol—pertumbuhan melebihi normal, atau seorang perempuan tiba-tiba menjadi gemuk, cepat menjadi tua, gerak-geriknya yang nervous, dagu seorang perempuan ditumbuhi jenggot atau tanda kelaki-lakian, itu menunjukkan adanya ketidaknormalan proses kimia tubuh atau produksi hormon tertentu yang tidak normal karena kegagalan kelenjar.
Akhir-akhir ini, para ahli telah berhasil menemukan berjenis-jenis kelenjar hormon yang terdapat dalam tubuh manusia. Kelenjar-kelenjar hormon ini memproduksi hormon yaitu zat khusus yang merupakan persenyawaan kimia hasil produksi kelenjar tubuh yang berfungsi mengatur berbagai proses kimia jaringan organ tubuh. Di antara sekian banyak kelenjar di dalam tubuh manusia, ada tujuh yang utama, yaitu sebagai berikut:

1.Kelenjar pituitary, disebut juga kelenjar hipofise atau kelenjar lendir. Fungsi kelenjar ini adalah: mengatur kegiatan kelenjar tiroid; mengatur sekresi dari kelenjar adrenal; mengatur sekresi kelenjar pembiakan; mengatur pertumbuhan tubuh pada umumnya; mengatur jumlah air yang dibunagn ginjal; merangsang produksi susu ibu, dan merangsang kontraksi rahim pada waktu melahirkan.
2.Kelenjar tiroid, berfungsi sebagai berikut: Mengatur kecepatan dalam mengubah makanan jadi panas dan tenaga di dalam sel; Membantu pertumbuhan agar normal dan melancarkan kerja susunan saraf. Kelenjar ini terletak di bagian leher;
3.Kelenjar paratiroid, yang berfungsi merangsang pengeluaran kalsium dari dalam tulang dan mengatur kadar kalsium di dalam darah. Kelenjar ini juga terletak di bagian leher;
4.Kelenjar adrenal, berfungsi: memperkuat hasil tanggapan susunan saraf terhadap perangsangan takut , marah atau gembira; Melawan rasa tertekan dan kegoncangan jiwa; Mengatu kesimbangan garam dan air dalam darah. Kelenjar ini terdapat di atas anak ginjal yang peranannya sebagai komandan pada komando strategi di dalam kerajaan tubuh. Karena itu, hubungannya sangat erat dengan panglima tertinggi kelenjar pituitary.
5.Kelenjar pankreas, berfungsi: mengatur penggunaan glukosa dalam tubuh; menghasilkan enzim-enzim pencernaan. Kelenjar ini terdapat pada bagian kanan belakang lambung.
6.Kelenjar limfoid (getah bening), berfungsi dalam: Menghasilkan antibodi (protein pembunuh) yang menolong mengatasi kuman, jamur, dan parasit lain agar tidak menimbulkan infeksi; Mempercepat proses penyembuhan.Kelenjar ini tersebar di berbagai bagian tubuh yang merupakan angkatan bersenjata yang senantiasa siap siaga dalam mempertahankan kondisi tubuh agar tetap prima.
7.Kelenjar kelamin (seks), berfungsi dalam: Mengatur perkembangan masa akil baligh; Menghentikan perkembangan tulang yang memanjang; Mempersiapkan rahim untuk kehamilan; Membentuk sel-sel kelamin.

Semua kelenjar tersebut di atas dapat bertugas menjalankan fungsinya masing-masing dengan cara mengeluarkan hormon-hormon. Misalnya ketika anda dalam keadaan takut, yang menstabilkan perasaan takut oranda itu adalah kelenjar andrenal. Kelenjar ini mengeluarkan hormon andrenalin sehingga anda dapat berlari kencang untuk menghindari kejaran anjing.
Sehingga, dalam pandangan biologi, sehat atau sakitnya manusia disebabkan oleh harmonis atau tidaknya hormon-hormon yang dipengaruhi oleh fungsi kelenjar-kelenjar. Oleh karena itu, untuk mengantisipasinya, hendaklah menjaga kesehatan sebelum sakit, memelihara hidup sebelum kematian datang.[12]

C. Sudut Pandang Psikologi

Sejak lama para ahli psikologi menduga bahwa di dalam jiwa manusia itu terdapat perasaan, kemauan, dan akal pikiran. Heymans mengistilahkan dengan emosionalitas, aktifitas dan fungsi skunder. Emosionalitas bersumber dari hati, sedangkan aktifitas bersumber dari hawa nafsu. Keduanya merupakan inti jiwa. Adapun akal merupakan kulit jiwa; karena itu, ia disebut fungsi skunder. Muatan kekuatan ketiga macam potensi kejiwaan ini tidak sama.
Karena itulah, menurut Heymans, ada delapan sifat dasar manusia: Tipe amorf, adalah orang yang kurang daya pikirannya, picik, pembeo, dan kaku dalam pergaulan. Tipe sanguinis, adalah orang yang bersikap kekanak-kanakan namun cekatan dan berani (karena kemauannya positif). Tipe flegmatis, adalah orang yang bersikap tenang, dapat menguasai emosi, bijaksana serta optimis (karena kemauan dan akalnya posisitf). Tipe apatis, adalah tipe manusia robot, sukar bergaul dan suka menyendiri tetapi pikirannya tajam (hanya akalnya yang aktif). Tipe nerves, adalah orang yang sangat dipengaruhi emosi, jiwanya sukar diduga, berpikir dangkal dan tidak sabar (hanya emosi yang berkuasa). Tipe koleris, adalah orang yang punya aktivitas tinggi, lincah, sangat perasa tetapi agak tumpul pikirannya (perasaan dan kemauan positif). Tipe gepassioner, adalah orang yang stabil antara emosi, kemauan, dan akalnya, berwatak garang, pemberani, perasa, pengkritik, tidak sabaran, suka curiga tetapi tekun dan ulet dalam bekerja. Tipe sintimental, adalah orang yang perayu, rapuh, mudah tersinggung, pencinta alam dan seni tetapi kurang ulet (karena kemauannya kurang kuat).
Dari kedelapan tipe ini, kita dapat melihat tipe 5, nerves adalah orang yang sangat dipengaruhi oleh emosi yang jiwanya sukar diduga, berpikiran dangkal. Orang seperti inilah yang mudah terkena goncangan jiwa. Mereka selalu mendengarkan suara hati tanpa pertimbangan akal sehingga kesadarannya dapat dikalahkan oleh kekuatan bawah sadarnya.[13]Dalam kehidupan modern ini sering muncul tingkah laku yang tidak wajar, seperti tindakan kriminal, manipulasi, korupsi, kejahatan seksual dan perbuatan penyimpangan sosial lainnya diakibatkan oleh persaingan hidup yang sedemikian ketat. Hal ini menimbulkan banyak kegelisahan, keresahan, ketakutan, dan ketegangan batin pada manusia. Akibatnya, tidak sedikit orang yang menderita ketegangan syaraf dan mengalami stres[14], yang meledak menjadi simpton penyakit mental. Jadi ketegangan serta ketakutan yang dialami manusia menjadi persemaian yang subur sekali bagi timbulnya bermacam-macam penyakit mental.
Apabila jiwa terguncang, pikiran menjadi tidak setabil, akibatnya mempengaruhi fisik manusia dan dapat menimbulkan penyakit yang disebut psikosomatik. Penderita psikosomatik bukan hanya membutuhkan terapi medis atau terapi fisik semata, tetapi juga membutuhkan terapi sufistik dengan salah satu metodenya, yaitu tobat.Uraian ini bertolak dari pemikiran bahwa sumber penyakit psikosomatik dapat disebabkan oleh konflik-konflik psikis atau dapat juga disebabkan oleh gangguan yang sifatnya organis.
Untuk memahami penyebabnya itu, kita harus melihat semua aspek yang mempengaruhi timbulnya gangguan psikosomatik. Diantaranya adalah aspek bio-psikososio dan spiritual. Apabila penyebabnya berasal dari aspek spiritual, seperti perasaan dosa, cara untuk menghilangkan keresahan jiwa tersebut adalah dengan bertobat, sebab tobat dapat membersihkan dan menjadikan terapi bagi jiwa yang sakit.[15] Karena memang kesehatan jasmani sangat bisa dipengaruhi oleh kesehatan mental. Untuk mengetahui lebih jauh terhadap hubungan antara kesehatan jasmani dengan mental, kita harus terlebih dahulu mengerti apa itu kesehatan mental. Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram.
Menurut H. C. Witherington, permasalahan kesehatan mental menyengkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam lapangan psikologi, kedokteran, psikitari, biologi, sosiologi dan agama.[16] Dalam ilmu kedokteran dikenal istilah psikosomatik (kejiwabanan). Dimaksudkan dengan istilah tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan badan. Jika jiwa berada dalam kondisi yang kurang normal seperti susah, cemas, gelisah, dan sebagainya, maka badan turut menderita.[17] Dalam sebuah ungkapan hadits Nabi dinyatakan, bahwa kesehatan mental yang dukung oleh kualitas kesehatan tubuh kita akan meningkatkan kesalehan ritual dan sosial: Akal (mental) yang sehat itu tergantung dari tubuh yang sehat (Al-Hadits) Beberapa temuan di bidang kedokteran dijumpai sejumlah kasus yang membuktikan adanya hubungan tersebut, jiwa (psyche) dan badan (soma). Orang yang merasa takut, langsung kehilangan nafsu makan, atau buang-buang air. Atau dalam keadaan kesal dan jengkel, perut seseorang terasa menjadi kembung. Dan istilah “makan hati berulam jantung” merupakan cerminan tentang adanya hubungan antara jiwa dan badan sebagai hubungan timbal balik, jiwa sehat badan segar dan badan sehat jiwa normal.[18]

D. Sudut Pandang Tasawuf

Sehat dan sakit dalam pandangan tasawuf memiliki titik singgung dengan pandangan menurut psikologi karena terkait dengan kejiwaan (mental). Namun dalam pandangan tasawuf, kejiwaan manusia memiliki cakupan yang lebih luas. Dalam pandangan tasawuf, jiwa manusia mencakup unsur-unsur roh, akal, nafs, dan qalb. Dalam pandangan tasawuf, roh itu bagaikan lampu, sedangkan kehidupan laksana cahaya. Gerakan roh dan penyebarannya ke seluruh tubuh bagaikan gerakan lampu di dalam rumah. Inilah yang dimaksudkan dengan “roh” oleh para dokter. Akan tetapi, para dokter yang ingin membimbing roh menuju wilayah suci tidak menerima makna ini. Arti kedua dari makna roh adalah latifatul mudrikah atau sebuah organ pengetahuan. Inilah yang disebut Alquran dalam QS: Al-Isra/17: 85) yang artinya: “katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan”.
Karena terkait dengan aspek kejiwaan (roh, akal, nafs dan qalb), sehat dan sakit dalam pandangan tasawuf kita bisa kaitkan antara kesehatan jiwa[19] dengan aspek agama. Dr. Muhammad Mahmud Abdul Qadir telah membahas hubungan antara agama dan kesehatan mental melalui pendekatan teori biokimia. Menurutnya, di dalam tubuh manusia terdapat sembilan jenis kelenjar hormon yang memproduksi persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh kepada eksistensi dan berbagai kegiatan tubuh. Persenyawa-persenyawaan itu disebut hormon.
Lebih jauh Muhammad Mahmud Abdul Qadir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi seperti bahagian, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut yang ada dalam diri manusia adalah akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan kimia hormon, di samping persenyawaan lainnya. Tetapi dalam kenyataannya, kehidupan akal dan emosi manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Karena itu, selalu terjadi perubahan-perubahan kecil produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar dari keharmonisan kesadaran dan rasa hati manusia, tepatnya perasaannya.
Tetapi, jika terjadi perubahan yang terlampau lama, seperti panik, takut, dan sedih yang berlangsung lama, akan timbul perubahan-perubahan kimia lain yang akan mengakibatkan penyakit syaraf yang bersifat kejiwaan. Hubungan penderita dengan dunia luar terputus, akalnya tertutupi oleh waham dan khayal yang membawanya jauh dari kenyataan hidup normal. Penderitaan selalu hidup dalam keadaan cemas dan murung, kebahagiaan hilang, penuh keraguan, takut, rasa berdosa, dengki, dan rasa bersalah.Timbulnya penyakit emosi seperti itu akibat dari kegoncangan dan hilangnya keseimbangan kimia tubuh seseorang.
Jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon dan kimiawinya, maka ia akan selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiawaan itu disebut oleh Abdul Qadir sebagai spektrum hidup. Dan pergeseran arah ke kiri atau ke kanan dari pusat bila terjadi perubahan dalam proses pemikiran, akan terjadi perubahan kimia dan biologi tubuh. Dan besar kecilnya perubahan itu tergantung dari kemampuan manusia untuk menanggapi pengaruh itu. Kalau terjadi keseimbangan, maka akan kembali menjadi normal. Adapun terjhadinya pergeseran dari kondisi normal ke daerah yang berbahaya itu, menurut Abdul Qadir sangat tergantung dari derajat keimanan yang tersimpan di dalam diri manusia, disamping faktor susunan tubuh serta dalam atau dangkalnya rasa dan kesadaran manusia itu. (Muhammad Mahmud Abdul al-Qadir, 1979).
Penemuan Muhammad Mahmud Abdul Qadir, seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya memberi bukti akan adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan jiwa.
Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatau kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan memberi sikap optimistis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif seperti bahagian, rasa senang, puas, sukses, merasa dicintai atau rasa aman. Sikap emosi yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Maka, dalam kondisi yang serupa itu, manusia berada dalam keadaan tenang dan nromal, yang oleh Abdul Qadir disebutnya berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon tubuh. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.
Agaknya cukup logis kalau setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan ikut berpengaruh dalam menanamkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia. Tindak ibadah setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna. Dan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan jasmani dan ruhani secara tak terpisahkan memerlukan perlakukan yang dapat memuaskan keduanya.[20]
Dari aspek pembinaan manusia agar memiliki mental yang utuh disinilah peran agama menemui urgensinya atas sehat tidaknya mental seseorang. Karena agama adalah sumber dari segala sumber nilai dan norma yang memberi petunjuk, mengilhami dan mengikat masyarakat yang bermoral. Salah satu cara untuk menemukan fungsi agama adalah jalan tasawuf yang memiliki tujuan agar bagaimana manusia dapat mengerti makna hidup, mengerti akan posisi diri sebagai hamba dan dekat dengan Tuhannya yang Maha Kuasa. Sehingga penyeimbangan antara kebutuhan jasmani yang kasar dan kebutuhan ruhani (kejiwaan) yang sangat halus dapat dipenuhi dengan baik. Dengan jalan spirit tasawuf, suasana kejiwaan manusia dapat dikendalikan dengan baik setelah melalui proses-proses riyadhah (olah spirit), sehingga dapat terhindar dari sakit kejiwaan yang berakibat langsung terhadap sakitnya jasmani. Dan yang perlu diingat adalah bahwa spiritualitas (kedalaman ruhaniah) manusia sangat berhubungan dengan hati (qalb) karena hati merupakan inti dari segala aktifitas jiwa. Jika hati seseorang sakit, menjadi sakitlah aktivitas kerohaniahannya. Dan hati adalah obyek dari ajaran tasawuf.
Hati yang sakit berati mentalnya pun sakit. Mental yang sakit ini akan mempengaruhi seluruh aktifitas manusia. Oleh karena itu, banyak ahli mencoba merumuskan pendekatan-pendekatan dalam upaya menemukan pengobatan mental manusia yang sedang terkena penyakit. Disinilah kemudian berkembang psikoterapi.
Jadi, dalam pandangan tasawuf, sehat dan sakit merupakan gambaran kejiwaan seseorang. Jiwa yang sakit akan menampakkan gejala fisiknya yang lesu, lemah, tanpa semangat yang dapat diatasi dengan pendekatan tasawuf. Sebaliknya, jiwa yang sehat akan terlihat kondisi fisiknya yang energik, bertenaga dan bebas dari penyakit

DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahmad, Abdul Aziz bin Abdullah, Kesehatan Jiwa: Kajian Korelatif pemikinan Ivbnu Qayyin dan Psikologi Modern, (Pustaka Azzam: Jakarta), Januari, 2006
El-Quussiy, Abdul Aziz, Prof. Dr., Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental, (Bulan Bintang: Jakarta), 1974
Dadang Hawari, Prof. Dr., Psikiater, Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta), Juni, 2004
Darmawan, Rahmat, Kundalini Dharnayoga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2004
H. Jalaluddin, Prof., Dr., Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta), Edisi Revisi, Cetakan ke-9, 2005
Judith Swarth, MS, RD, Stres dan Nutrisi (Bumi Aksara: Jakarta), Juli, 2004, Cetakan ke-3.
Moelyono dan Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, (UMM: Malang), 2001
M. Sholihin, Dr., M. Ag. Terapi Sufistik, Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Prespektif Tasawuf, (Pustaka Setia: Bandung), Nop., 2004
Nakamura, Kojiro, Metode Zikir dan Doa Al-Ghazali, Edisi Terj., Uzair Fauzan (Bandung: Mizan), 2004
Salaby, Mas Rahim, Mengatasi Kegoncangan Jiwa Perspektif Al-Quran dan Sains, (Rosda Karya: Bandung), Mei, 2001
________________________________________
[2] Kesempurnaan fisik merupakan gambaran kesehatan jasmani yang diartikan sebagai keserasian yang sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani, disertai dengan kemampuan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran yang biasa, yang terdapat dalam lingkungan , disamping secara positif merasa gesit, kuat dan bersemangat. Lihat Prof. Dr. Abdul Aziz el-Qussiy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental, (Bulan Bintang: Jakarta), 1974, hal. 12
[3] Moelyono dan Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, (UMM: Malang), 2001, hal. 3-4.
[4] Prof. Dr. Dadang Hawari, Psikiater, Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta), Juni, 2004, hal. 33-34
[5] Op. Cit, hal 5
[6] Mas Rahim Salaby, Mengatasi Kegoncangan Jiwa Perspektif Al-Quran dan Sains, (Rosda Karya: Bandung), Mei, 2001, hal. 3-8
[7] Kojiro Nakamura, Metode Zikir dan Doa Al-Ghazali, Edisi Terj., Uzair Fauzan (Bandung: Mizan), 2004, hal, 63
[8] Uraian lebih lengkap baca juga Rahmat Darmawan, Kundalini Dharnayoga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2004, hal. 17
[9] Ibid, hal. 9
[10]A. Scott (1961) melakukan penelitian secara mendalam tentang berbagai pengertian ganguan mental. Dia mengelompokkan terdapat enam macam kriteria untuk menentukan seseorang mengalami gangguan mental, yaitu: (a) orang yang memperoleh pengobatan psikiatris, (b) salah penyesuaian (maladjusment) sosial, (c) hasil diagnosis psikiatris, (d) ketidakbahagiaan subyektif, (e) adanya simpton-simpton psikologis secara objektif dan (f) kegagalan adaptasi secara positif. Lihat dalam Moelyono dan Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, (UMM: Malang), 2001, hal. 43.
[11] Op. Cit, hal. 9-12
[12] Ibid, hal. 16
[13] Mas Rahim Salaby, hal 17-19
[14] Stres adalah suatu kekuatan yang memaksa seseorang untuk berubah, bertumbuh, berjuang, beradaptasi atau mendapatkan keuntungan. Semua kejadian dalam kehidupan, bahkan yang bersifat positif juga menyebabkan stres. Tidak semua stres bersifat merusak karena rangsangan, tantangan dan perubahan akan memberikan keuntungan bagi kehidupan seseorang. Meskipun demikian, sebagian besar mendertita stres yang berlebihan dan kemampuan mengatasinya terbatas. Lihat dalam Judith Swarth, MS, RD, Stres dan Nutrisi (Bumi Aksara: Jakarta), Juli, 2004, Cetakan ke-3, hal. 1-2
[15] Dr. M. Sholihin, M. Ag. Terapi Sufistik, Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Prespektif Tasauf, (Pustaka Setia: Bandung), Nop., 2004, hal. 123
[16] H. Jalaluddin, Prof., Dr., Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta), Edisi Revisi, Cetakan ke-9, 2005, hal. 156.
[17] Ibid
[18] Ibid, hal 157
[19] Ibnu Qayyim al-Jauziyah menekankan pentingnya kesehatan jiwa yang disistilahkan dengan “kebahagiaan jiwa” atau pola hidup yang baik dan sehat kaitannya dengan manusia. Menurutnya, istilah hidup yang sehat atau kebahagiaan jiwa sebagai ungkapan kesehatan jiwa. Baginya, wahyu adalah sumber kehidupan roh, sedangkan roh merupakan sumber kehidupan jasmani. Karenanya, barang siapa yang kehilangan roh, maka ia akan kehilangan kehidupan yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Lihat Abdul Aziz bin Abdullah al-Ahmad, Kesehatan Jiwa: Kajian Korelatif pemikinan Ibnu Qayyim dan Psikologi Modern, (Pustaka Azzam: Jakarta), Januari, 2006, hal. 72
[20] Ibid.

Tuesday, July 27, 2010

PSIKOLOGI ISLAM: Paradigma Fitrah dalam Peta Paradigma Psikologi Modern

Oleh Prof. Dr. BAHARUDDIN, M.Ag.
(Guru Besar Psikologi Islam STAIN Padangsidimpuan)


Pendahuluan
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan adalah proses ‘memanusiakan’ manusia, dalam arti pendidikan adalah proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia, sehingga seluruh potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Dalam proses mengaktualkan potensi manusia diperlukan pengetahuan tentang keberadaan potensi dan situasi serta lingkungan yang tepat untuk mengaktualkannya. Pengetahuan tentang diri manusia dengan segala permasalahannya dibicarakan dalam psikologi. Demikianlah eratnya hubungan antara psikologi dengan pendidikan.
Dalam dunia pendidikan Islam, telah terjadi kondisi yang aneh tapi nyata. Dikatakan aneh, karena dunia pendidikan Islam telah demikian berkembang pesat, baik secara teoritis maupun praktis. Bahkan dapat dikatakan dunia pendidikan Islam telah mengalami perkembangan dan kemajuan demikian pesat. Nah, perkembangan yang demikian pesat itu, tidak dilandasi dengan psikologi Islam. Padahal, landasan pengembangan pendidikan adalah psikologi. Permasalahannya, apa landasan pengembangan pendidikan Islam selama ini, yang pasti bukan psikologi Islam. Mungkin selama ini, pendidikan Islam “berinduk semang” dengan psikologi Barat (sekuler), meskipun kita tidak menyadarinya. Mengapa tidak dibangun saja “induk” pendidikan Islam yang memang benar-benar “kandung”. Sehingga dapat dilahirkan generasi Islam yang memang betul-betul memiliki “bapak dan ibu kandung”.
Pendidikan Islam selama ini banyak mendasarkan teori dan konsepnya pada psikologi Barat, meskipun mereka tidak mengetahuinya. Sebut saja, sebagai contoh, Psikoanalisa dan Behaviorisme. Kedua aliran psikologi ini memandang diri manusia berbeda dengan pandangan Islam. Psikoanalisa memandang manusia sebagai generasi langsung dari binatang, sehingga manusia mewarisi sifat khas binatang, yaitu nafsu yang mereka sebut dengan libido. Seluruh tingkah laku manusia adalah proses dinimika hubungan libido dengan lingkungan. Behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki jiwa, namun sejak awal kelahirannya ke dunia, jiwa manusia itu kosong, bagaikan kertas putih. Lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan tingkah laku manusia.
Islam sebagai ajaran memiliki konsep yang berbeda dengan kedua konsep dasar psikologi tersebut. Manusia dalam pandangan Islam memiliki potensi luhur yang merupakan anugerah Allah, yaitu potensi fitrah dan ruh. Kedua potensi ini tidak terjamah dalam psikologi Barat. Di sisi lain, pendidikan Islam, pada hakekatnya adalah proses aktualisasi kedua potensi luhur itu. Lalu, bagaimana landasan psikologi yang tidak mengakui kedua potensi itu dapat dijadikan landasan pengembangan potensi tersebut. Demikianlah, nasib pendidikan Islam selama ini.
Berdasarkan itu, sudah saatnya, pendidikan Islam memiliki landasan psikologi Islam. Sehingga “kawin silang” atau “kawin kontrak” antara psikologi sekuler dengan pendidikan Islam selama ini dapat dihentikan. Tentunya dari proses “kawin silang” itu telah lahir generasi model baru yang tidak murni Islam dan juga tidak sekuler, lalu apa? Itulah yang kita temukan sekarang ini. Keperibadian mereka terpecah, spilit personality melanda generasi Muslim.
Belakangan ini telah lahir upaya-upaya ke arah pembangunan psikologi Islam. Telah banyak berlahiran karya-karya cemerlang dan pikiran-pikiran bernas. Seiring dengan itu, berbagai kritikan juga telah meramaikan bursa pemikiran psikologi Islam.

Pengertian Psikologi Islam
Sebelum dijelaskan tentang psikologi Islam, perlu terlebih dahulu diuraikan tentang pengertian psikologi. Psikologi berasal dari dua kata bahasa Inggris psyche yang berarti jiwa dan logy atau logos yang berarti ilmu. Jadi, secara bahasa psikologi adalah ilmu jiwa. Dalam bahasa Arab disebut dengan ilmunnafsi, demikian juga dalam bahasa Indonesia disebut dengan ilmu jiwa.
Pengertian bahasa itu, berbeda dengan pengertian dalam psikologi sebagai sains. Psikologi sebagai sains, mentaati prinsip-prinsip dan aturan sains. Diantaranya adalah logis, sistematis, objektif, empiris, kongkret, tentatif, dan lain-lain. Jika dilihat dari sisi objeknya yang kongkret, maka ilmu jiwa berarti ilmu yang mengkaji jiwa. Jiwa itu abstrak lawan dari kongkret. Jadi, sebenarnya psikologi bukan ilmu tentang jiwa, sebab jiwa tidak kongkret. Oleh karena itu yang dikaji dalam psikologi bukan jiwa tetapi gejala jiwa. Gejala jiwa itu adalah tingkah laku. Jadi, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku.
Psikologi mempelajari tingkah laku secara umum, karena itu disebut psikologi umum. Tingkah laku yang berhubungan dengan satu aspek kehidupan, maka muncul cabang psikologi. Psikologi pendidikan membicarakan tingkah laku yang berhubungan dengan pendidikan; Psikologi Agama membicarakan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan (agama); Psikologi sosial membicarakan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan situasi dan kelompok sosial, demikian seterusnya bermunculan cabang psikologi.
Psikologi Islam bukan cabang psikologi karena psikologi Islam tidak membicarakan tingkah laku yang merupakan satu aspek kehidupan. Namun, psikologi Islam adalah aliran dalam psikologi yang menawarkan cara pandang tentang manusia dan tingkah lakunya. Sebagaimana aliran psikologi lainnya, seperti Psikoanalisa, behaviorisme, humanistik, dan transpersonal, maka psikologi Islam juga memiliki cara pandang tentang manusia dan tingkah laku manusia secara tersendiri.
Banyak para ahli yang telah menawarkan rumusan psikologi Islam. Salah satunya adalah Baharuddin yang menyatakan, Psikologi Islam adalah ilmu yang membicarakan tingkah laku manusia berdasarkan cara pandang Islam tentang manusia dalam bertingkah laku ketika berhubungan dengan diri, lingkungan, dan Tuhannya.

Persentuhan Psikologi dengan Agama
Sejarah persentuhan agama dengan psikologi mengalamai pasang surut. Bentuk persentuhan itu sangat dipengaruhi oleh model dan metodologi serta pergeseran paradigma yang dipergunakan psikologi. Pergeseran itu telah mewarnai pandangan psikologi tentang prilaku beragama. Pada priode awal pola persentuhan itu mengambil bentuk hubungan dimana teori psikologi digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah perilaku beragama. Menjelang awal abad ke 21 ini pola hubungan itu mengambil bentuk lain, dimana teori psikologi dilahirkan dari pemahaman terhadap perilaku beragama.
Perubahan itu, seakan membalikkan pola hubungan sebelumnya. Hubungan sebelumnya saling “bermusuhan” sampai masa sekarang ini seakan-akan keduanya berhubungan “mesra”.



Dari “Bermusuhan” ke “Bermesraan”
Berdasarkan perkembangan persentuhan keduanya, baik secara positif maupun negatif, dapat dibedakan kepada empat priode perkembangan.
Priode pertama berlangsung sekitar paruh kedua abad ke-19. Sejarah menceritakan bahwa psikologi sebagai sains dimulai sekitar tahun 1879 ketika Wilhelm Wundt (1248-1339 H/1832-1920 M) dari Universitas Leipzig di Jerman mendirikan Laboratorium untuk menganalisis tingkah laku manusia dan binatang melalui metode eksperimen. Pada priode awal ini, ciri utama perkembangan psikologi adalah pengembangan psikologi secara observasi dan eksperimen di laboratorium. Perhatian utama tertuju kepada tingkah laku manusia secara umum. Pada saat itu, perilaku agama tidak mendapat perhatian yang serius. Robert W. Crapps (…-…H/…-…M) menjelaskan “During the formative decades of scientific psychology, religion did not occupy a significant place in the concern of researchers.” Artinya: selama priode pembentukan psikologi sebagai sains, agama tidak mendapat tempat yang penting dalam perhatian peneliti. Ringkasnya, bahwa persentuhan agama dan psikologi belum menemukan wujudnya pada priode awal ini.
Priode kedua berlangsung pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Ciri utama priode ini adalah adanya usaha-usaha dari para psikolog untuk mengkaji dan menafsirkan perilaku beragama berdasarkan konsep dan teori psikologi. Pada priode ini istilah “psychology of religion” (psikologi agama) sudah menjadi salah satu cabang dalam psikologi dengan objek kajian perilaku beragama. Pada priode kedua ini ada tiga tokoh utama yang dipandang sebagai orang yang berjasa besar dalam melahirkan Psikologi Agama. Ketiga tokoh itu masing-masing adalah Edwin Diller Starbuck, James H. Leuba, dan William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M).
Edwin Diller Starbuck pada tahun 1899 menulis buku berjudul: The Psychology of Religion: An Empirical Study of The Growth of Religious Counsciousness. Buku ini merupakan hasil penelitian tentang pertumbuhan perasaan beragama di bawah bimbingan William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M). Sebenarnya, menurut Zakiah Daradjat (1348-... H/1929-… M), Starbuck adalah murid William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M), namun dalam bidang Ilmu Jiwa Agama, karya Starbuck tersebutlah yang menjadi titik awal berkembangnya penelitian di bidang psikologi agama. Penelitian William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) sendiri semakin mendalam dalam bidang perilaku beragama, justru setelah karya Starbuck tersebut diterbitkan. Jadi Edwin Diller Starbuck pantas dianggap sebagai tokoh perintis Psikologi Agama.
James H. Leuba juga dipandang sebagai tokoh perintis Psikologi Agama. Menurut Zakiah Daradjat (1348-... H/1929-… M) hasil penelitiannya pernah diterbitkan pada Majalah di Monist Volume XI Januari 1901 dengan judul Introduction to a Psychological Study of Religion. Kemudian dikembangkan menjadi sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1912 berjudul A Psychological Study of Religion. Dalam penelitiannya itu, James H. Leuba menggunakan pendekatan fisik-biologis dalam menjelaskan fenomena agama. Misalnya, dikemukakannya persamaan antara orang yang fana` dalam mistik dengan seorang yang kena pengaruh minuman keras.
Tulisan dan hasil penelitian lainnya yang paling berharga dalam Psikologi Agama adalah karya William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) berjudul The Variaties of Religious Experience yang ditulis pada tahun 1902. Buku ini merupakan bahan-bahan persiapan untuk memberikan kuliah tentang agama alamiah (natural religion) di Universitas Edinburgh. Uraian-uraian dalam buku tersebut berdasarkan hasil penelitiannya terhadap catatan pengalaman orang-orang penting tentang agama. Dalam uraiannya, William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) membuat perbedaan perilaku beragama kepada dua bentuk perilaku beragama, yaitu agama institusional (institutional religion) dengan agama pribadi (personal religion). Agama institusional adalah perilaku beragama dalam bentuk lembaga, organisasi, sekte-sekte, struktur sosial, dan lain-lain. Agama pribadi adalah penghayatan terdalam dan pengalaman spiritual yang bersifat pribadi. Menurut Zakiah Daradjat (1348-... H/1929-… M) karya William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) itulah yang membangkitkan semangat para psikolog untuk mengadakan penelitian-penelitian tentang perilaku beragama. Pada tahun 1904 terbit majalah The Journal of Religious Psychology dan kemudian menyusul pula The American Journal of Psychology of Religion and Education menyusul karya William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) tersebut. Jadi, pantaslah, jika William James dipandang sebagai tokoh perintis Psikologi Agama.
Priode ketiga berlangsung sejak tahun 1930 sampai dengan sekitar tahun 1950-an. Priode ini adalah priode kemerosotan hubungan agama dengan psikologi. Artinya, pada rentangan tahun-tahun ini, para psikolog tidak mengarahkan perhatiannya pada perilaku beragama. Ada dua faktor utama yang menyebabkan hal itu. Pertama, pada rentangan tahun-tahun tersebut psikologi cenderung semakin positivistik dan behavioristik. Telaah psikologi terarah pada tingkah laku objektif, yaitu tingkah laku yang dapat diobservasi dan dapat diukur. Sehingga tidak memberikan ruang pada tingkah laku di luar metode positivistik dan behavioristik. Akibatnya, perilaku agama tidak menjadi objek kajian. Kedua, para ahli agama memanfaatkan situasi itu untuk membentengi iman umatnya dengan cara menjauhkan diri dan menolak temuan-temuan sains modern. Akibatnya, terjadilah hubungan yang saling acuh dan menafikan antara agama dengan psikologi.
Kecuali itu, masih dapat dikemukakan tiga faktor lainnya. Pertama, adanya rasa acuh tak acuh baik dari ahli agama maupun psikolog. Kedua, banyaknya ahli agama yang tidak yakin bahwa hasil dan kesimpulan yang diperoleh dari studi agama secara psikologis akan memberikan hasil dan kesimpulan yang akurat. Mereka yakin perilaku agama tidak dapat diteliti secara ilmiah. Ketiga, banyak psikolog yang sangat berhati-hati dengan perkara yang transendental, seperti keyakinan dan agama. Kesemuanya ini menyebabkan hubungan agama dengan psikologi mengalami masa ‘sakit’. Ringkasnya, pada priode ini hubungan agama dengan psikologi tidak saling menghargai, tetapi menganggap masing-masing dirinya benar dan menolak kebenaran yang lain.
Priode keempat dimulai sekitar tahun 1960-an M dan masih berlangsung sampai dengan sekarang (2007 M). Pada priode ini, pengembangan psikologi mengarah pada usaha-usaha untuk menjadikan nilai, budaya, dan agama, sebagai objek kajian psikologi dan juga sekaligus sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan teori-teori psikologi. Dengan kata lain, hubungan agama dengan psikologi kembali bersemi.
Pada priode terakhir ini, lahir Psikologi Humanistik dan Psikologi Transpersonal. Kedua psikologi ini sering disebut sebagai kekuatan ketiga (the third force) dalam psikologi. Objek telaahan kedua psikologi ini adalah kualitas-kulitas khas kemanusian, berupa: pikiran, perasaan, kemauan, kebebasan, kemampuan potensi luhur jiwa manusia, dan lain-lain.
Pada penghujung abad ke-20 ini muncul tema-tema baru dalam psikologi. Diantara tema tersebut adalah spiritual intelligence (kecerdasan spiritual) dan emotional intelligence (kecerdasan emosional). Ciri utama orang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah adanya keinginan untuk memberi konstribusi bagi umat manusia. Kesalehan adalah kemampuan untuk berkhidmat pada orang lain, menghibur orang yang mendapat musibah, memberi makan fakir-miskin, menyayangi sesama manusia, dan lain-lain. Kebalikannya, disebut dengan spiritual dumb. Ciri utamanya adalah merasa diri paling saleh, memonopoli kebenaran agama pada dirinya atau kelompoknya, menolak dan merendahkan paham keagamaan orang lain, dan lain-lain. Kecerdasan emosional adalah bagian penting dalam jiwa manusia, yang selama ini telah diabaikan dalam wacana psikologi. Emosi sangat menentukan bahagia atau menderitanya seseorang. Emosi juga melindungi manusia dari berbagai bahaya. Emosi adalah hasil perkembangan evolusi manusia yang paling lama, dan emosi terpusat pada bagian salah satu otak manusia. Demikian ungkap Daniel Goleman dalam bukunya berjudul Emotional Intelligence. Pada bagian lain, dia menjelaskan bahwa yang menentukan sukses kehidupan manusia, bukan rasio, tetapi emosi. Dari hasil penelitiannya, dia menemukan situasi yang disebutnya when smart is dumb, Artinya ketika orang cerdas jadi bodoh. Dia menemukan orang Amerika yang memiliki kecerdasan (IQ) 125 umumnya bekerja pada orang yang memiliki kecerdasan (IQ) rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas umumnya menjadi pegawai pada orang yang lebih bodoh dari dia. Jarang sekali orang yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Malahan orang-orang biasalah yang sukses dalam kehidupan. Jadi, apakah yang menentukan kesuksesan dalam kehidupan ini? Jawabnya adalah bukan kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ditandai dengan kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Orang yang paling mampu mengendalikan emosi dan menahan diri adalah orang yang paling tinggi kecerdasan emosionalnya. Dalam Islam, konsep yang demikian disebut dengan sabar. Orang sabar, tabah, tekun, ulet, pantang menyerah, optimis, dan tidak memperturutkan emosinya.
Berdasarkan itu, Jalaluddin Rahmat (1368-… H/1949-… M) menjelaskan bahwa Psikologi Transpersonal bukan saja mengembangkan kehidupan beragama, tetapi juga menerima sumbangan dari padanya. Tradisi mistikal dari berbagai agama: Zen Budhism, Yoga, Sufisme, Kabbalah, Shamanism, Tradisi mistik Kristen, dan lain-lain telah menjadi pusat penelitian dan sumber inspirasi pengembangan Psikologi Transpersonal ini.
Demikianlah, pada priode keempat ini, terlihat dengan jelas hubungan yang saling mengisi dan membutuhkan antara agama dan psikologi. Kondisi ini dapat menjadi peluang sekaligus juga tantangan bagi kita umat Islam, apakah kita mampu melahirkan konsep-konsep psikologi yang dapat diandalkan untuk kemaslahatan umat manusia pada masa sekarang ini dan akan datang? Konon ceritanya, Islam adalah agama untuk segala zaman dan tempat. Kalau demikian, mengapa tidak? Islam harus menyodorkan konsep-konsepnya bagi kemaslahatan umat manusia. Salah satu kontribusinya adalah menyajikan paradigma psikologi dari sumber ajarannya.

Paradigma Psikologi Modern
1. Paradigma Mekanistik
Paradigma mekanistik adalah paradigma yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip atau hukum-hukum kausalitas dalam memahami manusia. Manusia dipandang sebagai objek dalam relasi ‘manusia-alam’. Manusia menjadi tunduk kepada pengalaman, bahkan isi jiwa manusia itu sendiri adalah kumpulan pengalaman. Manusia menjadi mekanistik, determenistik, dan pessimistik.
Psikoanalisa dan Behaviorisme berada pada paradigma mekanistik ini. Persoalan fundamental yang diyakini sebagai wilayah yang sangat berperan dalam menentukan tingkah laku manusia bagi Psikoanalisa adalah unconsciousness (ketidak sadaran). Wilayah ini,- unconsciousness (ketidak sadaran)-, merupakan wilayah yang paling luas dari ketiga wilayah kesadaran manusia yang diyakini dan diakui oleh Psikoanalisa. Ketiga wilayah kesadaran tersebut adalah consciousness (kesadaran), preconsciousness (ambang sadar), dan unconsciousness (ketidak sadaran). Ketiga wilayah kesadaran ini dapat digambarkan sebagai gunung es di dalam lautan luas. Wilayah consciousness (kesadaran) adalah puncaknya, sementara preconsciousness (ambang sadar) adalah persentuhan antara gunung dengan permukaan air, sedangkan unconsciousness (ketidak sadaran) adalah gunung es yang sangat luas yang tidak terlihat karena tenggelam di dalam lautan air. Bagi Psikoanalisa, semua tingkah laku manusia berhubungan dengan wilayah unconsciousness (ketidak sadaran) ini. Tingkah laku manusia memiliki korespondensi dengan isi unconsciousness. Isi unconsciousness itu adalah dimensi id dan pengalaman-pengalaman troumatis manusia khususnya masa kanak-kanak. Oleh karena itu, Psikoanalisa dalam merumuskan, menjelaskan, menginterpretasikan, dan memprediksikan, tingkah laku manusia selalu merujuk kepada peranan wilayah unconsciousness ini. Untuk menemukan dan mengungkapkan akar terdalam dari tingkah laku manusia yang berada dalam wilayah unconsciousness ini, Psikoanalisa menggunakan beberapa macam metode. Metode-metode tersebut adalah hypnotis, intropeksi, atau retropeksi, dan analisis mimpi. Ringkasnya, bahwa persoalan fundamental objek telaahan dan keyakinan dasar Psikoanalisa dalam memahami, merumuskan, menginterpretasi, dan memprediksi tingkah laku manusia adalah unconsciousnes. Dengan demikian paradigma Psikoanalisa adalah paradigma unconsciousness (ketidak sadaran).
Berdasarkan asumsi-asumsi inilah, Psikoanalisa memahami, menjelaskan, dan memprediksi tingkah laku manusia. Jadi, tingkah laku manusia merupakan proses mekanistik untuk memuaskan sejumlah energi internal diri manusia. Ringkasnya, paradigma Psikoanalisa adalah paradigma mekanistik.
Berbeda dengan Psikoanalisa yang memfokuskan perhatian pada wilayah unconsciousness. Behaviorisme memusatkan perhatiannya pada wilayah objektifitas. Behaviorisme memandang Psikoanalisa sebagai teori yang sangat spekulatif dan tidak ilmiah. Penjelajahan terhadap wilayah unconsciousness dengan menggunakan metode hipnotis, intropeksi, retropreksi, dan analisis mimpi, merupakan metode yang menggambarkan spekulatif-subjektif. Sebab,- menurut Behaviorisme-, metode-metode itu tidak didukung oleh bukti-bukti empiris dan data-data faktual. Oleh karena itu Behaviorisme menetapkan paradigma objektif dalam psikologi. Paradigma objektif menekankan pada data-data yang dapat diuji secara faktual dan berdasarkan pengalaman (empiris). Behaviorisme yakin dan percaya bahwa seluruh tingkah laku manusia dapat dipahami (understanding), dirumuskan (formulasi), dan diprediksi (prediction), berdasarkan pandangan objektif. Maka rumusan tingkah laku bagi Behaviorisme merupakan hubungan stimulus-respon-bond. Pada dataran faktual-objektif ini tingkah laku manusia tidak berbeda dengan tingkah laku binatang. Inilah yang menyebabkan mereka meneliti tingkah laku binatang untuk memahami, merumuskan, bahkan untuk memprediksi tingkah laku manusia. Maka muncullah teori-teori dari Behaviorisme, seperti classical conditioning (pembiasaan klasik) oleh Ivan Petrovich Pavlov (1266-1355 H/ 1849-1936 M) dan J.B. Watson (1226-1378 H/ 1878-1958 M), Law of effect (hukum dari akibat) oleh Edward Lee Thondike (1291-1369 H/1874-1949 M), Operant Conditioning (pembiasaan operant) dari B.F. Skinner (1322-1411 H/ 1904-1990 M), dan Modelling (pentauladanan) yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1344-…H/ 1925-…M). Semua teori-teori ini merupakan upaya memahami tingkah laku manusia melalui eksperimen terhadap binatang di laboratorium.
Ringkasnya, bahwa paradigma Behaviorisme adalah paradigma ‘mekanistik-objektif’. Paradigma ‘mekanistik-objektif’ adalah keyakinan mendasar terhadap fakta-fakta yang aktual, kongkret, dan menyentuh wilayah empiris-sensoris dalam memahami, menginterpretasi, memformulasi, dan memprediksi, tingkah laku manusia. Kecuali itu, paradigma ‘mekanistik-objektif’ berarti fokus bahasan dalam Behaviorisme adalah data-data objektif. Hal-hal yang tidak berdasarkan data-data faktual selalu dihindari.
Berdasarkan itu, jelaslah bahwa paradigma Behaviorisme adalah paradigma mekanistik. Semua tingkah laku manusia merupakan proses mekanistik stimulus dan respon. Manusia bagaikan mesin besar yang selalu siap memberikan respon terhadap stimulus yang menyentuhnya.

2. Paradigma Humanistik
Sementara itu, Psikologi Humanistik,- yang tumbuh sekitar pertengahan abad ke-20-, memandang Psikoanalisa telah menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Behaviorisme, -menurut Humanistik-, dalam memandang manusia bersifat mekanistik, determenistik, dan otomatistik, sehingga menyebabkan manusia kehilangan kemanusiaannya. Manusia menjadi dehumanistik dan inpersonality. Maka Psikologi Humanistik lahir untuk membela nilai kemanusiaan. Maka muncullah paradigma humanistik (paradigma kemanusiaan) dalam psikologi.
Berdasarkan paradigma kemanusiaan ini muncullah teori-teori personality and motivation (kepribadian dan motivasi) oleh William James (1258-1328 H/ 1842-1910 M) yang kemudian dikembangkan oleh Gordon W. Allport (1315-1387 H/1897-1967 M); client-centered-approarch (pendekatan yang berpusat pada klien) dalam menangani masalah terapi oleh Carl Rogers (1330-1408 H/1902-1987 M), self actualization (aktualisasi diri) oleh Abraham H. Maslow (1326-1390 H/ 1908-1970 M), dan teori the will to meaning (kehendak untuk hidup bermakna) oleh Victor Frankl (1323-…H/1905-…M) dalam logoterapi-nya yang sering digolongkan sebagai Psikologi Transpersonal. Semua teori ini berdasarkan kepada pandangan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk unik yang harus dipahami secara holistik dari dimensi somatis (raga), psikis (jiwa), dan noetik (spiritual). Kecuali itu, eksistensi manusia berbeda dengan eksistensi lainnya. Karakteristik eksistensi manusia dapat disimpulkan pada adanya; spirituality (kerohanian), freedom (kebebasan), dan responsibility (tanggung jawab). Untuk memahami, menginterpretasi, memformulasi, dan memprediksi, tingkah laku manusia harus dirujuk kepada konsep-konsep manusia secara holistik seperti yang diuraikan di atas.
Jadi, ringkasnya bahwa paradigma Psikologi Humanistik adalah paradigma kemanusiaan. Paradigma humanistik memandang bahwa manusia adalah makhluk khas, unik, yang harus dipahami secara holistik. Manusia memiliki raga, jiwa, dan spiritual dan eksistensinya sebagai manusia memiliki karakteristik spirituality, freedom, dan responsibility. Paradigma ini mengakui bahwa tingkah laku manusia merupakan produk bebas pikiran, perasaan, dan kemauan manusia. Kebebasan dalam segala hal, terutama menentukan pilihan tingkah lakunya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemauannya.

3. Paradigma Fitrah
Sementara itu, Psikologi Islami memandang bahwa Psikologi Humanistik terlalu optimis terhadap manusia. Manusia dianggap sebagai berkuasa penuh terhadap dirinya dan menafikan dimensi lain yang turut serta dalam membentuk dan menentukan dirinya. Menurut Psikologi Islami manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam (nature), manusia (sosial), dan Tuhan. Ketiga hal ini turut memberikan andil dalam membentuk tingkah laku manusia. Ini sejalan dengan dimensi-dimensi yang ada di dalam diri manusia. Untuk memahami, menginterpretasi, memformulasi, dan memprediksi, tingkah laku manusia harus senantiasa memandangnya dalam hubungan yang seimbang dengan alam, manusia, dan Tuhan, seperti yang dijelaskan di atas. Jelasnya, bahwa menurut Psikologi Islami, ada sesuatu yang hilang dari Psikologi Humanistik dalam memandang manusia yaitu eksistensi Tuhan. Kecuali itu, menurut Psikologi Islami, bahwa Psikologi Humanistik, dalam memandang dimensi manusia belum sepenuhnya sempurna. Dua dimensi terpenting dalam hubungannya dengan esensi dan eksistensi manusia luput dari jangkauan Psikologi Humanistik,- apa lagi Psikoanalisa dan Behaviorisme. Kedua dimensi terpenting itu adalah dimensi al-ruh dan dimensi al-fitrah. Dimensi al-ruh beraktualisasi sebagai khalifah sementara dimensi al-fitrah beraktualisasi sebagai ‘abid dalam konteks ‘ibadah. Manusia dalam hubungannya dengan alam adalah sebagai aktualisasi khalifah, sementara dalam hubungannya dengan Allah adalah sebagai aktualisasi peran ‘ibadah. Manusia senantiasa dalam putaran hubungan kedua peran ini,- yaitu peran khalifah dan ‘ibadah.
Jadi, jelaslah bahwa dalam pandangan Psikologi Islami bahwa tingkah laku manusia bukanlah hanya sebatas keinginan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya seperti dalam Psikologi Humanistik. Tetapi tingkah laku manusia juga merupakan aktualisasi dari rentangan dari rangkaian keterikatan dengan alam, manusia, dan Tuhan. Dinamika tingkah laku manusia adalah seberapa besar dominasi keinginan yang akan diaktualisasikan. Jika dominasi keinginan alam yang dominan maka akan muncul tingkah laku yang bersifat alamiah, seperti makan, minum, berhubungan seksual, dan lain-lain. Jika dominasi keinginan kemanusiaan, maka akan muncul tingkah laku yang berhubungan dengan aktualisasi diri, seperti ingin dihormati, menguasai orang lain, ingin mencintai dan dicintai orang lain, dan lain-lain. Sementara jika dominasi keinginan Tuhan yang akan diaktualisasikan, maka berbarengan dengan itu akan muncul tingkah laku berupa ‘ibadah. Pemahaman yang menyeluruh dan holistik tentang tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan alam, manusia, dan Tuhan, merupakan inti persoalan paradigma yang ditawarkan dalam Psikologi Islami.
Paradigma itu disebut dengan ‘paradigma fitrah’. Istilah fitrah terambil dari istilah dalam Al-Qur’an Surat al-Rum/30: 30.
فاقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليهــا …"
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fi¯rah All±h yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu …”
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa fitrah manusia berasal dari fitrah Allah. Berdasarka itu, fitrah manusia senantiasa menampilkan dua sisi, yaitu sisi asalnya (esensi) dan sisi keberadaannya (eksistensi). Fitrah dari sisi asalnya menampilkan sisi spiritual-transendental (Allah), sementara dari sisi keberadaannya menampilkan sisi empiris-historis (manusia). Fitrah Allah adalah Esa dalam segala hal. Berdasarkan itu, maka haklikat paradigma fitrah adalah pengakuan terhadap kebenaran tunggal, satu, monistik, dalam wilayah transendental, namum pada saat yang bersamaan, dalam wilayah empiris-historis, tampilannya dapat beragam dan bervariasi. Jelasnya, paradigma fitrah mengakui kebenaran monistik-multidimensional.
Dalam memandang tingkah laku manusia, -sebagai objek kajian psikologi-, maka paradigma fitrah merujuk kepada konsep di atas. Berdasarkan itu, maka tingkah laku manusia senantiasa tampil sebagai akumulasi ekspresi aktualisasi potensi batin dan responsi pengaruh lingkungan. Ekspresi berarti bahwa tingkah laku menjadi media (sarana) untuk mengekspresikan kondisi psikis. Responsi berarti tingkah laku muncul sebagai respon (tanggapan) terhadap stimulus lingkungan. Tingkah laku manusia senantiasa menampilkan dua sisi ekspresi dan responsi. Perbedaan antara satu tingkah laku dengan tingkah laku lainnya terletak pada prosentase masing-masing sisi, apakah sisi ekpresi atau sisi responsi yang dominan.
D. Posisi Paradigma Fitrah dalam Peta Paradigma Psikologi
Jika ditelaah kepada sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat, maka dapat dijelaskan bahwa teori-teori Psikologi Modern,- utamanya Psikoanalisa,- Behaviorisme, dan Humanistik-, merupakan hasil dari adanya dua pengutuban semu yang berbeda dan pada saat tertentu dapat bertentangan. Pengutuban semu tersebut adalah pengutuban ‘fisik-psikis’ dan manusia-alam. Wacana ilmu pengetahuan selalu berada pada pertentangan kedua kutub ini.
Ini merupakan salah satu buah dikhotomi peradaban Barat yang bermula dari masalah hubungan antara roh dan tubuh. Dalam buku Philosophy and Science in the Islamic World, dijelaskan bahwa Rene Descartes (1005-1061 H/ 1596-1650 M), di saat fajar peradaban modern Eropa,- memberikan kepada roh dan tubuh sifat-sifat yang saling bertentangan secara mendasar. Yang satu mempunyai kesadaran, yang lain tidak, yang satu mempunyai keluasan, yang lain tidak. Maka timbullah masalah: apabila roh dan tubuh tidak memiliki persamaan sama sekali, bagaimana mungkin mereka berada bersama-sama dan hidup bersama. Para filosof Barat berusaha memecahkan persoalan ini dengan mereduksi tubuh menjadi roh atau sebaliknya mereduksi roh menjadi tubuh. Dengan kata lain meniadakan salah satunya, roh atau tubuh dari arena. Karena peradaban Barat cenderung kepada saintifik dan mekanistik, maka yang pada akhirnya disingkirkan adalah roh. Hasilnya adalah bahwa makhluk manusia menjadi robot, artinya mesin yang harus diawasi dan dimanipulasi seperti mesin-mesin lainnya, dengan menggunakan kekuatan fisik-kimiawi dan alat-alat teknologi lainnya.
Pengutuban fisik-psikis telah menimbulkan pertentangan yang kronis dan berubah-ubah bentuk dan wujudnya sesuai dengan perkembangan dan perjalanan sejarah peradaban umat manusia. Pengutuban tersebut tercermin dalam pertentangan antara rasionalisme melawan empirisme pada abad XI H/XVI M, antara idealisme melawan realisme pada abad XII H/XVII M, antara positivisme melawan romantisisme pada abad XIII H/XVIII M, antara materialisme melawan idealisme pada abad XIV H/XIX M, dan antara saintifisme melawan eksistensialisme pada abad XV H/XX M.
Sementara itu, pengutuban manusia-alam telah menimbulkan pertentangan antara humanisme dengan naturalisme, antara teknologisme dengan ekologisme, dan antara kapitalisme dengan sosialisme. Sementara itu, pandangan dualisme kutub dalam humanisme juga menimbulkan pengutuban diri menjadi ‘pribadi dengan masyarakat’ dan muncul dalam bentuk pertentangan antara individualisme melawan kolektivisme, antara liberalisme melawan totalitarianisme, dan antara radikalisme melawan konservatisme.
Semua pengutuban tersebut cenderung melihat realitas sebagai dualitas atau polaritas. Tetapi dualitas dalam pandangan Barat cenderung menjadi dualisme yang diusahakan menjadi monisme, yaitu pandangan yang serba satu. Misalnya hanya ada satu sumber pengetahuan yang sah, yaitu rasio saja atau pengalaman empiris saja. Hanya ada satu realitas yang sungguh-sungguh ada, yaitu ide saja atau materi saja. Sebagai akibatnya, muncul usaha untuk mendamaikan pertentangan itu lewat konsep dualisme yang merangkul kedua kutub tersebut dan meletakkannya sama tinggi, tetapi tentu saja dualisme itu tidak mantap, sebab memang kedua kutub itu memang tidak sama bobotnya.
Perkembangan paradigma psikologi modern di dunia Barat, sebenarnya tidak terlepas dari lingkaran dan siklus pengutuban dualisme di atas. Psikoanalisa berada pada kutub manusia dari kutub ‘manusia-alam’, dan berada pada kutub psikis pada kutub ‘fisik-psikis’, dan kutub subjektif dari kutub ‘subjektif-objektif’. Sementara itu Behaviorisme berada pada kutub alam dari dualitas kutub ‘manusia-alam’, dan berada pada kutub fisik dari dualitas kutub ‘fisik-psikis’, dan berada pada kutub objektif dari dualitas kutub ‘subjektif-objektif’. Kedua aliran psikologi ini,- Psikoanalisa dan Behaviorisme-, berada pada dua kutub yang saling berseberangan dan bertentangan. Psikoanalisa berada pada ujung satu kutub ‘manusia-psikis-subjektif’ dan Behaviorisme berada pada ujung yang lainnya, yaitu kutub ‘alam-fisik-objektif’. Psikologi Humanistik hadir untuk mendamaikan pertentangan dan perbedaan dengan merangkul kedua kutub paradigma psikologi tersebut dan meletakannya pada posisi yang sama tinggi. Sehingga paradigma humanistik dari Psikologi Humanistik merupakan konsep integritas dualisme antara manusia-alam. Sehingga dapat dijelaskan posisinya adalah sebagai gabungan atau persentuhan antara kedua kutub tersebut. Jadi, paradigma humanistik adalah kesatuan manusia-alam, psikis-fisik, dan subjektif-objektif. Ia membentuk satu kutub lainnya yang berada pada posisi yang horizontal dalam segi tiga kutub paradigma.
Ketiga posisi paradigma psikologi tersebut,- Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanistik-, berada pada bidang datar. Ini disebabkan, ketiga kutub itu, sebenarnya menjelma dari dua kutub yang memiliki kedudukan yang setara dan seimbang. Posisi paradigma fitrah sebagai paradigma Psikologi Islami berada di atas ketiga kutub tersebut. Karena ia memiliki dimensi spiritual dan transendental yang berasal dari Yang Maha Subjek dan Maha Objek, yaitu Allah yang berada di atas semua kutub tersebut. Sehingga posisi paradigma fitrah adalah sebagai perantara dari yang subjek (manusia), yang objek (alam) dengan yang Maha Subjek dan Maha Objek (yaitu Allah).
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ketiga paradigma psikologi modern, -Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanistik-, menafikan eksistensi Tuhan dalam wilayah paradigma. Ketiganya berputar-putar dalam wilayah ‘manusia-alam’ dan subjektif-objektif’. Ringkasnya, Psikologi Barat menafikan eksistensi Tuhan dan peranannya dalam wilayah paradigma ilmu pengetahuan (sains). Dalam introduction buku Philosophers Who Believe, dijelaskan bahwa paradigma sains modern banyak diilhami oleh teori-teori yang dilahirkan oleh Karl Marx (1234-1301 H/ 1818-1883 M), Sigmund Freud (1273-1356 H/ 1856-1939 M), Friederich Nietzshe (1260-1318 H/1884-1900 M), dan Charles Darwin (1224-1300 H/1809-1882 M). Mereka semua menolak eksistensi Tuhan dalam wilayah paradigma ilmu pengetahuan.
Psikologi kontemporer,- yaitu Psikoanalisa, Behaviorisme, Humanistik-, dapat dipandang sebagai refleksi dari pandangan dan teori yang membidani konsep menafikan Tuhan tersebut. Di sisi lain, Psikologi Islami menawarkan paradigma yang mengakui eksistensi dan peranan Tuhan dalam wilayah paradigma ilmu,- paling tidak pada wilayah pure science atau filsafat sains-, dari paradigma psikologi Islami. Pengakuan terhadap eksistensi dan peranan Tuhan dalam wilayah pure science ini sebenarnya telah mendapat perhatian yang serius dari para filosof Barat sendiri sekitar awal tahun 1980-an. Mereka mengakui adanya eksistensi Tuhan dan peranan-Nya di dalam dunia empirik, termasuk mempunyai peranan dalam wilayah paradigma ilmu pengetahuan (sains). Tokoh lainnya,- sebenarnya cukup banyak-, namun sebagai contoh saja cukup disebutkan beberapa nama yang populer; diantaranya adalah Seyyed Hossein Nasr yang menjelaskannya dalam bukunya yang berjudul Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science. Oleh karena itu, adanya upaya Psikologi Islami mendudukkan persoalan Tauhid (Tuhan) dalam wilayah paradigma ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang baru bagi para filosof dan para pakar lainnya, namun bentuk kongkretnya dalam konstruksi paradigma ilmu, khususnya dalam bidang psikologi-, belum mencapai bentuk final.

Penutup
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa posisi paradigma al-fitrah dalam peta paradigma psikologi kontemporer adalah merupakan posisi menengah (wasatan). Posisi menengah dimaksudkan adalah dalam hubungannya dengan keyakinan terhadap eksistensi dan peranan Yang Maha Objek dan Maha Subjek, yaitu Tuhan. Psikologi kontemporer,- khususnya Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanistik-, hanya berputar-putar dalam lingkaran paradigma subjektif dan objektif atau gabungan keduanya. Psikologi Islami berada di atas paradigma subjektif dan objektif, tetapi sekaligus juga berada di bawah eksistensi Yang Maha Objek dan Maha Subjek, yaitu Tuhan. Sehingga dalam perspektif al-fitrah semua tingkah laku manusia berputar-putar pada lingkaran nuansa subjektif (manusia), objektif (alam), dan Yang Maha Subjektif dan Yang Maha Objektif,- yaitu Tuhan. Dinamika tingkah laku terjadi adalah sebagai refleksi dari dominasi nuansa dari ketiga hal tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.
Amstrong, R.B. “East-West Psychology.” dalam Raymond J. Cornisi (ed.) Encyclopedia of Psychology. New York, Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore: John Wiley & Sons, 1994, Edisi II, Volume 1, hlm. 45.
Atkinton, Rita. L., Ricard C. Atkinton., Ernest R. Hilgard. Introduction to Psychology. New York, San Diago, Chicago, San Francisco, Atlanta, London, Sydney, Toronto: Arcourt Broce Jovonnorich Inc., 1981, Eighth Edition.
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Benjafield, John G. A History of Psychology. Boston: Allyn and Bacon, 1996.
Benjafield, John. A History of Psychology. Boston: Allyn and Bacon, 1996.
Brown, Clerence W. and Edwin E. Ghiselli. Scientific Method in Psychology. New York: McGraw-Hill Book Company Inc., 1995.
Clark, Kelly James. Philosophers Who Believe. Downers Grove, Illinois: Inter Varsity Press, 1993.
Crapp, Robert W. An Introduction to Psychology of Religion. Macan Georgia: Mercer University Press, 1986.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Gobel, Frank G. The Third Force: The Psychology of Abraham Maslow. New York: Washington Square Press, 1971.
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence. New York: Bantam Books, 1996.
Guilford, J.P. “Humanistic Psychology”. dalam Raymond J. Corsini (ed.) Encyclopedia of Psychology. Volume II, hlm. 117.
Hendrick, Ives. Fact and Theories of Psychoanalysis. New York: A Delta Book, 1958.
James, William. The Variaties of Religious Experience. New York: Modern Library, 1902.
Khalil, A. Kafrawi. Spirityual Intelligence. Ontario: White Mountain, 2000.
Kuhn, Thomas Samuel. The Structure of Scientific Revolurtions. Chicago: Chicago University Press, 1970.
Langgulung, Hasan. “The Ummatic Paradigm of Psychology”. dalam Mizan: Islamic Forum for World Culture and Civilization, Reluigion and the Spirit of World Peace. Volume III Number 2, 1990. hlm. 98-115.
Maddi, Salvatore R. Personality Theories A Comparative Analysis. New York: The Dorsey Press, 1968.
Mannheim, Karl. Et. All. Sigmund Freud: An Introduction. London: Routledge & Kigan Paul Ltd., 1950.
Maslow, Abraham H. The Psychology of Science: A Reconnaissance. New York and London Publisher: Harper & Row, Publishers, 1996.
Masterman, Margaret. “ The Nature of Paradugm”. Dalam Lakatos dan Musgrane. Criticism and the Growth of Knowledge. (Cambridge: Cambridge University Pressm, 1984).
Morgan, Clifford T. A Brief Introduction to Psychology. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd., 1975.
Nasr, Sayyed Hossein. Knowledge and Sacred. Diterjemahkan oleh Suharsono, dkk. Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Nataatmadja, Hidayat. Krisis Manusia Modern, Agama-Filsafat-Ilmu. Surabaya: Al-Ikhlas, 1994.
Purwanto, Yadi, Epistemologi Psikologi Islami, Bandung: Refika Aditama, 2007.
Qadir, C.A. Philosophy and Science in the Islamic World. London: Croom Helm Limited, 1988.
Rahmat, Jalaluddin. “Psikologi dan Agama: Bersaudara atau Bermusuhan.” Dalam Makalah Seminar Nasional Psikologi dan Agama, Diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Psikologi Universitas Pajajaran Bandung di Bandung pada tanggal 14 Oktober 2000, hlm. 4.
Sarlito, Wirawan Sarwono. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang, 1978, Cet.
Wuff, David M. Psychology of Religion: Classic and Contemporary Views. New York, Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore: John Wiley & Sons, 1990.
Zohar, Danah dan I Marshal. Connecting with Our Spiritual Intelligence. New York: Blommsbury, 2000.

IDENTITAS PENULIS

Baharuddin Hasibuan lahir di Desa Babussalam, Langkat, Sumatera Utara, pada tanggal 02 Juni 1965. Anak sulung (pertama) dari lima bersaudara pasangan Adnan Hasibuan dan Anas Nadrah Nasution (w. 1980). Alamatnya sekarang di Jl. Pimpinan No. 123 Medan Sumatera Utara Hp. 08126528149; email: baharuddinhasby@yahoo.co.id dan
stainpasid@yahoo.co.id Dia menamatkan SD Swasta Jatisari pada tahun 1979, MTsN Tanjungpura Langkat pada tahun 1982, PGAN Tanjungpura Langkat pada tahun 1985, S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Medan tahun 1989, S-2 Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1994, dan S-3 pada PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2001. Dia pernah mendapatkan Beasiswa dari berbagai lembaga, diantaranya: Beasiswa Super Semar pada tahun 1984-1985 sewaktu di PGAN, Beasiswa Super Semar untuk S-1 IAIN selama dua priode, tahun 1987-1988 dan tahun 1988-1989. Beasiswa dari Departemen Agama untuk S-2 PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1992-1994. Beasiswa dari Departemen Agama untuk S-3 pada PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1995-1997. Selama mengikuti pendidikan pernah mencatat beberapa kali menjuarai berbagai lomba ilmiah, diantaranya: Juara Cerdas Cermat Isi Kandungan Al-Qur’an pada MTQ Nasional ke-17 Tingkat Propinsi Sumatera Utara di Tebing Tinggi Tahun 1984. Juara Cerdas Cermat Isi Kandungan Al-Qur’an pada Porseni MAN dan PGAN se Sumatera Utara di Padangsidimpuan tahun 1983, Juara Cerdas Cermat Isi Kandungan Al-Qur’an pada Dies Natalis dan Wisuda Sarjana IAIN Sumatera Utara Tahun 1986. Juara Lomba Pidato dalam Bahasa Arab pada Diesnatalis IAIN Sumatera Utara Tahun 1987. Juara karya ilmiah dalam Bahasa Arab pada Diesnatalis IAIN Sumatera Utara Tahun 1988. Tulisannya dapat dibaca pada berbagai jurnal ilmiah dan media massa, seperti: Suara Muhammadiyah Yogyakarta, Majalah Ilmiah Miqat IAIN Sumatera Utara Medan, Majalah Ilmiah Analytica Islamica Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara Medan, Journal Tarbiyah Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Medan, Majalah Fitrah Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara di Padangsidimpuan, dan sekarang STAIN Padangsidimpuan, Majalah Khazanah IAIN Antasari Banjarmasin, Majalah Teologia IAIN Semarang, Jurnal Penelitian Walisongo IAIN Walisongo, Semarang, dan lain-lain. Bukunya telah diterbitkan berjudul Paradigma Psikologi Islami (Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Aktualisasi Psikologi Islam dalam Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) dan Metode Studi Islam (Islam Ajaran, Pemahaman, dan Praktek, (Bandung: Citapustaka, 2005). Dia menjadi dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara, -sekarang STAIN Padangsidimpuan-, sejak Tahun 1991 sampai dengan sekarang. Selain sebagai dosen, (sejak tahun 2002) kepadanya juga, diberikan jabatan sebagai Kepala Pusat Penelitian STAIN Padangsidimpuan, Ketua Dewan Penyunting Majalah Ilmiah Fitrah STAIN Padangsidimpuan, dan Ketua Dewan Penyunting Majalah Penelitian Tazkir STAIN Padangsidimpuan, dan Direktur STAIN Padangsidimpuan Press. Sejak tahun 2003 dia ikut mengajar di Pascasarjana IAIN Sumatera Utara Medan. Dia juga alumni Training of Trainer (TOT) (Pelatihan Pelatih) bagi Calon Dosen PTAIN se-Indonesia Angkatan I Juli 2004 di Yogyakarta. Tahun 2006-2010 diserahi amanah sebagai Ketua STAIN Padangsidimpuan.