Thobib Al-Asyhar
(Penulis buku Fikih Gaul dan Sufi Funky, kandidat doktor bidang psikologi Islam UIN Jakarta)
Sekitar tahun 2002, ketika buku Jakarta Undercover (2002), karya Muammar MK, masih dipasarkan secara indie dan belum menjadi buku best-seller, penulis menyampaikan kepada pengurus MUI DKI tentang isi buku tersebut. Tujuan penulis adalah untuk bahan masukan kepada MUI tentang fenomena pergaulan bebas (free sex) di masyarakat yang sudah begitu parah, khususnya Jakarta. Saat itu penulis berpendapat, lembaga keagamaan Islam harus menjadikan isi buku tersebut sebagai bahan evaluasi, kajian, dan rencana aksi dalam pembinaan umat ke depan.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi (khususnya internet), hampir sepuluh tahun setelah terbitnya buku tersebut, fenomena kehidupan bebas masyarakat seperti terjadi loncatan (skip) yang jauh. Munculnya berbagai pemberitaan di media massa tentang gaya hidup hedon generasi muda menjadi bukti betapa masyarakat kita sedang berada pada kondisi shock culture (kekagetan budaya). Fenomena kumpul kebo, perzinahan, perselingkuhan yang didokumentasikan dalam gambar digital dan video yang disebarluaskan melalui dunia maya telah semakin massif. Gambar bugil dan video porno yang dibintangi oleh penduduk pribumi bermunculan bak jamur di musim hujan. Mulai dari pelajar SMP dan SMA, mahasiswa, pengusaha, hingga kalangan selebriti dan mantan anggota DPR. Menurut data JBDK, video porno dengan ”bintang film” dan ”karya” anak negeri berjumlah lebih dari 500 buah, dan kemungkinan akan terus bertambah.
Kasus video mesum artis top tanah air beberapa waktu lalu seperti diingatkan kembali pada kasus-kasus sebelumnya. Sungguh, ini adalah fenomena sosial yang sangat memprihatinkan. Sebuah gambaran moralitas yang tidak pernah terbayangkan 20 tahun sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apa sebenarnya yang terjadi pada masyarakat kita, khususnya generasi muda?
Banyak para ahli sosial berpendapat, bahwa fenomena pergaulan bebas yang direkam dalam teknologi digital, disamping karena faktor pergeseran nilai-nilai moral yang disebabkan oleh banyak faktor, sesungguhnya merupakan bukti kegagapan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Banyak masyarakat yang belum mengerti, apa sesungguhnya manfaat dan madharat teknologi digital.
Menurut pakar telematika, peristiwa yang direkam dalam kamera, sesungguhnya telah mengabadikan peristiwa tersebut dalam arti sesungguhnya, karena gambar yang telah dihapus ternyata dapat di-recovery dengan software khusus. Apalagi direkam dengan menggunakan kamera HP yang terhubung dengan satelit, maka sangat mungkin dapat dilihat atau dicuri oleh orang lain. Dengan demikian, sebuah peristiwa yang sangat pribadi sekalipun, jika direkam dalam kamera digital, sejatinya telah disimpan dalam ruang publik.
Psikologi Moral
Terus, apa tanggapan kaum agamawan terhadap fenomena tersebut? Jelas, mereka mengatakan bahwa masyarakat, khususnya generasi mida telah mengalami problem moral yang sangat memprihatinkan. Mereka sedang berada pada titik nadir peradaban umat manusia yang paling rendah, karena telah meninggalkan nilai-nilai etis dan religius yang selama ini menjadi pegangan hidup. Meminjam istilah al-Quran, jika manusia tidak mengindahkan lagi batas-batas moral, maka mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi.
K. Bertens, dalam bukunya Etika (2007) mengatakan bahwa moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahapan perorangan maupun sosial. Moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak pada makhluk lain, dan makhluk yang paling dekat dengan manusia adalah binatang. Karena itu, dalam terminologi filsafat, untuk menentukan kekhususan manusia sering dibandingkan dengan binatang. Dalam ilmu logika, manusia didefinisikan sebagai binatang yang berfikir (al-hayawan al-nathiq).
Kemudian, apa yang dimaksud moral itu? Para ahli mendefinisikan moral sebagai perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik dan buruk, meskipun tidak berlaku untuk semua orang dan bangsa. Baik dan buruk dalam arti etis memiliki peranan sangat penting dalam hidup manusia. Bukan saja sekarang ini, tetapi juga masa lampau dan sepanjang masa. Ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah menjelaskan bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang mana yang harus dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana perbuatan moral itu muncul dan berkembang? Menurut Jean Piaget, seorang psikolog Perancis mengatakan bahwa kemunculan dan perkembangan moral ditentukan oleh perkembangan kognitif seseorang. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg, psikolog Amerika, dalam Stage of Moral Development (1971), bahwa perkembangan moral manusia ditentukan oleh tiga tahap, yaitu tahap pra-konvensional, konvensional dan pasca-konvensional. Demikian juga Ibn Miskawaih mengatakan bahwa moral manusia mengikuti perkembangan daya-daya jiwanya, seperti akal, hati, dan nafs.
Inti dari pendapat para ahli tersebut menegaskan, bahwa perkembangan moral seseorang lebih ditentukan oleh perkembangan rasionya. Artinya, semakin tinggi kualitas rasio atau kemampuan akademik seseorang, seharusnya semakin tinggi kualitas moralnya. Apalagi, tujuan dari pencapaian akademik adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang maju, baik dan bahagia.
Jika dihubungkan dengan fenomena terkuaknya gaya hidup dan perilaku selebritas kita melalui gambar-gambar bugil dan video mesum belakangan ini, seperti membalikkan teori para ahli tersebut, bahwa tingkat rasio yang lebih baik, seperti selebriti, politisi, pengusaha atau kaum terdidik lainnya yang dianggap sebagai kasta kelas atas, tidak berbanding lurus dengan kualitas moralnya. Posisi sosial yang terhormat di tengah masyarakat, tidak menjadikan diri mereka untuk lebih baik, meskipun masih banyak di antara mereka yang baik.
Menarik apa yang dikatakan Al-Ghazali dalam membagi manusia kepada empat kelompok kriteria moral, yang juga bisa untuk memetakan moral masyarakat:
Pertama, seseorang yang sepenuhnya lugu atau polos yang tidak mampu membedakan antara yang baik dan buruk, tetap dalam keadaan fitrah seperti ketika dilahirkan, dan dalam keadan kosong dari segala kepercayaan. Ambisinya tidak begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai kesenangan hidup. Orang seperti ini sangat cepat dalam proses perbaikan moralnya, dengan cukup membutuhkan pembimbing dalam hidupnya.
Kedua, seseorang yang secara pasti telah mengetahui sesuatu yang buruk tetapi ia belum terbiasa mengerjakan perbuatan baik, bahkan ia cenderung mengikuti hawa nafsunya melakukan perbuatan-perbuatan buruk daripada mengikuti pertimbangan akal sehat untuk melakukan perbuatan baik. Perbaikan moral seperti ini tentu tingkat kesulitannya melebihi dari tipe pertama. Sebab, usaha yang harus dilakukan bersifat ganda, selain mencabut akar-akar kebiasaan buruknya, orang tersebut secara serius dan konsisten melakukan latihan-latihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Namun, jika hal ini dilakukan sungguh-sungguh, maka perbaikan moral akan terlaksana.
Ketiga, seseorang yang berkeyakinan bahwa perangai-perangai buruk merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dan perbuatan itu dianggap baik dan menguntungkan. Orang tersebut tumbuh dengan keyakinan seperti itu. Terhadap kriteria orang seperti ini, maka sungguh merupakan usaha yang sangat berat dan jarang sekali yang berhasil memperbaikinya. Karena terlalu banyak penyebab kesesatan jiwanya.
Keempat, seseorang yang diliputi pikiran-pikiran buruk, seiring dengan pertumbuhan dirinya, dan terdidik dalam pengalaman (lingkungan) yang buruk. Sehingga ketinggian derajatnya diukur dengan seberapa banyak perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan dan bahkan dengan banyaknya jiwa-jiwa manusia yang ia korbankan. Orang seperti ini berada dalam tingkatan orang yang paling sulit untuk diobati. Usaha memperbaiki moralitas orang ini bisa dikatakan sia-sia. Wallahu a’lam bish-shawab.