Parenting

Pentingnya Nama Baik Untuk Anak

Kalimat umum yang sering disebut oleh banyak orang: “apa arti sebuah nama”. Saya tidak sepakat dengan kalimat itu. Seakan-akan nama tidak penting, atau bahkan dianggap kering akan simbol-simbol yang mengiringinya. Padalah sebuah nama, dalam khazanah sosiologis-antropologis, tidak terlepas dari konteks sejarah. Nah, jika sejarah dihubungkan dengan sebuah nama, maka disinilah letak nilai-nilai kontekstual terkandung. Sebagai misal, kenapa Tanjung Priuk, daerah di utara Jakarta dinamakan Tanjung Priuk? Ternyata, menurut salah satu versi sejarahnya, di daerah tersebut pusat berlabuhnya kapal-kapal dagang besar yang bentuknya seperti priuk. Sehingga, daerah itu disebut dengan Tajung Priuk. Tentu, penamaan daerah itu memiliki maksud untuk mengenang, bahkan hingga saat, sebagai pelabuhan dagang yang sangat bersejarah di negeri ini. Masih banyak contoh lain, yang mungkin tidak kita sadari bahwa penamaan terhadap sesuatu memiliki maksud tersirat yang mungkin tidak dimengerti semua.

Apalagi terkait dengan penamaan seorang anak manusia. Makhluk Tuhan yang begitu mulia. Ia adalah sebaik-baiknya penciptaan Tuhan (ahsani taqwim) dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki keunggulan penciptaan, karena terdiri dari jasad, akal, ruh, nafs (jiwa), dan hati. Kalau binatang hanya jasad, ruh, dan nafs. Malaikat hanya ruh, akal, dan hati, minus jasad. Maka, alangkah menyedihkannya, seorang bayi mungil nan suci, yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain dinamai dengan sebutan yang tak bermakna, bahkan berarti buruk. Contoh, anak bernama “engkrak”, karena orang tuanya exciting ketika melihat pengki, dinamai “gudel” karena berharap kerbau yang menjadi piaraan orang tuanya memiliki banyak anak, dinamai “beruk” karena ortunya sedang menyayangi binatang semacam monyet, dinamai “suparji” karena dianggap nama itu indah, padahal dalam bahasa arab, farji artinya alat kelamin, dan lain sebagainya. Sehingga, sebuah nama tidak dapat dilepaskan dari sebuah konteks bukan?

Karenanya, soal nama orang itu tidak dapat berdiri sendiri. Dalam menamai seorang anak, kita tidak boleh asal sebut, bukan karena semata-mata kita menyukai nama itu, atau hanya sekedar nama itu terdengar keren, eksklusif, atau karena kagum dengan seseorang tanpa mengerti latar belakang hidupnya, dan lain sebagainya. Dalam sebuah hadits disebutkan: Abu Daud meriwayatkan dari Abi Darda’ ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya kamu dipanggil pada hari kiamat dengan nama-namamu dan nama-nama bapak-bapakmu, maka baikkanlah nama-namamu.” (HR. Muslim). Intinya, Rasulullah menganjurkan menamai anak dengan nama yang baik, agar kelak di akhirat dipanggil dengan nama yang baik.

Tentu, anjuran Rasulullah itu bersifat kontekstual, tidak harus mengikuti nama-nama dalam bahasa Arab, seperti nama-nama para sahabat nabi. Prinsipnya, Rasulullah menekankan agar kita menamai anak dengan nama yang baik, mengandung doa dan tidak memiliki konotasi buruk. Sehingga, bagi orang tua dituntut untuk mengetahui maksud dan tujuan, kenapa anaknya dinamai si A, B atau C. Meski demikian, nama yang bagus tidak selalu identik dengan nama-nama yang berbau Arab. Sebagai contoh, orang dengan bangga menamai anaknya Abu Jahal, Musailamah al-Kadzdzab, Abu Lu’lu’, hanya karena dia pernah mendengar dari seorang ustad yang menyebut nama-nama itu. Padahal dia nggak mengerti sejarahnya, siapa mereka itu. Akibatnya, fatal kan?

Ada sebuah cerita yang sangat lucu. Suatu kali, ada orang tua yang lagi semangat berislam, khususnya senang dengan istilah-istilah Arab. Saking menggebunya, ia ingin menamai anaknya dengan nama yang berbau Islam (Arab). Kemudian mencari-cari di dalam ayat al-Quran yang kira-kira bagus. Ketemulah beberapa nama yang dianggap keren, seperti: illa ladzina (kecuali orang-orang yang) dengan panggilan “adi”, ulaaika humul kafirun (mereka adalah orang-orang kafir) dengan panggilan “ika”, fi qulubihim maradhun (di dalam hatinya ada penyakit) dengan panggilan “lubi”, dan lain sebagainya. Semangat sih boleh lah, tapi jangan asal gobleg dong! Jadinya kan aneh kalau dipaksakan seperti itu. Makanya, bagi yang tidak mengerti bahasa arab, sebaiknya menanyakan kepada orang yang mengerti. Meski semangatnya bagus, kalau artinya jelek dan aneh, kan jadi lucu.

Oleh karena itu, jika ingin menamai seorang anak, maka pikirkan jauh-jauh, apa nama yang tepat, pantes dan memiliki arti yang baik. Karena memberikan nama anak itu mengandung doa dari orang tuanya kepada si anak. Bagi saya, nama yang bagus tidak harus yang berbau padang pasir. Tapi juga jangan katro banget lah. Masa jaman gini hari menamai anak dengan bejo, selamet, sugeng. Meski nama itu bagus, tapi rasanya kurang mengkini, atau modern. Coba cari nama yang pantes, memiliki ciri-ciri yang menunjukkan kualitas bagi orang tuanya, dan memiliki arti yang bagus, sekaligus diniatkan sebagai doa untuk anak agar kelak menjadi anak yang saleh, pintar, dan memberi manfaat kepada banyak orang.

Tapi jangan lupa, nama yang bagus, harus diimbangi dengan panggilan yang bagus pula. Karena banyak kejadian kan, nama bagus-bagus, manggilnya sak enake dhewe, alias semaunya sendiri. Contoh, nama Rifqil Anam, panggilannya “thikil”, Luqman Hakim, panggilannya “buluk”, Qamaruddin, panggilannya “komeng”, Inayah, panggilannya “ince”, Fawzi, panggilannya “paijo”, dan lain sebagainya. Dengan panggilan yang aneh, akibatnya nama yang bagus jadi tercemar.

Jadi, berkaitan dengan nama-menamai anak, saya termasuk yang paling suka jika diminta orang untuk memberikan usulan nama seorang bayi. Apalagi menamai anak-anak saya sendiri he he... Mungkin ini bakat dari bapak saya yang memang tukang memberi nama bayi dari orang-orang yang memintanya. Namun, untuk menamai anak, saya berupaya agar nama itu tidak terlalu pasaran, tidak terlalu umum. Nama yang unik diambilkan dari istilah-istilah Arab yang kira-kira mengandung kekinian, dan pastinya, memiliki arti yang bagus. Secara kebetulan, saya dan isteri, lebih suka dengan nama-nama yang berbau ilmu, kepintaran, kecerdasan, wawasan, dan hal-hal yang berkaitan dengan kualitas personal.

Sebagai contoh, anak yang pertama saya beri nama: Akna Mumtaz Ilmi, yang artinya menyimpan keistimewaan ilmu (pengetahuan). Dengan nama ini, saya berharap kelak anak saya menjadi anak yang memiliki kedalaman ilmu, sebagai rujukan banyak orang karena dia menyimpan seperti gudang ilmu. Sementara anak yang kedua, saya beri nama: Ahya Nasyath Fikri, yang artinya menghidupkan atau memotivasi semangat berfikir. Kami berharap, anak saya kedua kelak menjadi pembelajar sejati yang menginspirasi banyak orang untuk terus berfikir, menggunakan kecerdasan akal dan hatinya sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain.

Nah, saya punya tips praktis bagaimana memberikan nama anak yang bagus dan tetap berdimensi Islam, serta tidak asal comot dari nama-nama yang sudah ada, yaitu:
pertama, bagi yang mengerti bahasa Arab, coba anda buka-buka kamus bahasa arab. Ambil kata dasarnya dari fi’il madli (kata kerja pertama), yang kira-kira unik dan memiliki arti bagus. Kemudian, gabungkan dengan kata-kata lain yang klop dan pas. Ingat, untuk menjadi gabungan nama yang bagus, harus memperhatikan tata bahasa arab yang baik dan bunyi yang pas. Sebagai misal, ada kata bagus, seperti Nadia. Kata ini kan berakhiran “a”, maka jangan digabung dengan kata lain yang juga berakhiran “a” juga, seperti Rizkia, sehingga menjadi Nadia Rizkia. Gabungan kata ini kurang enak didengar, meski memiliki makna yang bagus. Menurut saya, nama Nadia bisa dibagung dengan kata Rahmawati, sehingga menjadi Nadia Rahmawati, dan seterusnya.

Kedua, jika anda tidak tahu banyak bahasa Arab, maka carilah di buku-buku tentang nama-nama Islam yang banyak dijual di toko-toko buku. Carilah nama-nama yang kira-kkira tidak terlalu pasaran, atau terlalu umum, sehingga terkesan eksklusif. Tentu, ini kaitannya dengan selera, dimana setiap orang memiliki kecenderungan berbeda-beda. Soalnya, orang-orang sekarang tidak suka dengan nama-nama Arab yang mungkin dianggap past time, meskipun sebenarnya nama-nama itu bagus, seperti nama-nama para sahabat nabi, para isteri nabi, atau tokoh-tokoh dalam sejarah Islam. Maunya, memberikan nama-nama yang berdimensi Islam, tetapi tetap bernuansa kota, modern, dan terdengar terpelajar.

Ketiga, bagi anda yang tidak suka dengan nama-nama yang berbau arab, tetapi lebih suka dengan nama-nama nasional, bahkan cenderung kebarat-baratan, saya menganjurkan agar anda tetap kritis. Jangan namai anak anda dengan nama-nama yang mungkin kurang relevan atau kurang bagus ditinjau dari aspek agama, seperti nama Robert, Fransisca, murdoch, George, dan lain sebagainya. Kita perlu menghindari nama-nama yang mirip dengan nama-nama pemeluk agama lain, meskipun tidak memiliki tujuan ke arah itu. Demikian juga, kalau memang anda menyukai nama-nama yang bernuansa etnis, maka pilihlah nama-nama yang kira-kira dapat memberi spirit bagi anak untuk menjadi pribadi yang baik dan berkualitas, jangan asal yang penting sesuai dengan kebanggaan etnis.

Keempat, bagi yang menyukai dengan nama-nama orang terkenal dan akan diturunkan untuk menamai anaknya, seperti artis, politisi, pemain bola, pemain basket, pebisnis, dan lain-lain yang menjadi idola, maka lihatlah terlebih dahulu latar belakang kehidupan sosialnya. Jangan buru-buru menamai anak hanya didasarkan pada idola, karena ngefans, tetapi melupakan maksud dan tujuan mulia dari pemeberian sebuah nama, seperti nama Hitler, Israel Jaya, Firáun, dan lain-lain. Karena sekali lagi, nama adalah doa untuk penyandangnya, dan tidak ada orang tua yang pengennya anaknya tidak baik atau berhasil.

Sekali lagi, jangan anggap remeh menamai anak-anak kita. Meski nama yang baik tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas personalnya, tetapi berkaitan dengan latar belakang pendidikan, pola asuh dalam keluarga, dan stimulus hidup yang didapatnya selama dia hidup. Memang banyak orang yang namanya bagus, tetapi kelakuannya justru sebaliknya, seperti ada nama Sholihin (arti: orang saleh) justru suka judi, main cewek dan lain-lain, ada nama Ridha malah jadi orang yang pendengki, ada nama Shabaruddin malah sering marah-marah, ada nama Luthfi (lembut) malah perangainya kasar, ada nama Tulus malah sukanya mengungkit-ungkit pemberian, dan lain sebagainya. Tetapi, akan lebih parah lagi jika namanya buruk, kelakuannya pun buruk pula. Namun, dengan memberikan nama yang bagus, setidaknya, dengan nama itu kita telah memberikan spirit yang luar biasa kepada si anak. Tinggal masalahnya, agar kualitas anak kelak sesuai dengan namanya, maka perlu dididik, dikondisikan dan diberikan dorongan agar menjadi pribadi yang berkualitas dan baik.

Thobib Al-Asyhar adalah ayah dari dua orang anak.