Oleh Thobib Al-Asyhar
Selepas dari pesantren pada tahun 1992, penulis melanjutkan kuliah di IAIN Jakarta. Sebagai alumni pesantren yang merasa memiliki bekal agama, penulis beranggapan bahwa hidup di Jakarta harus penuh hati-hati, karena gaya hidup orang Jakarta sudah sangat tercemar oleh budaya hedonisme.
Ketika pamit kepada sang kyai, penulis diwasiatkan agar tidak menanggalkan kopyah yang telah menjadi budaya di pesantren.
Untuk menjalankan amanat sang kyai, penulis berusaha untuk konsisten menggunakan kopyah dimanapun, seperti ketika sholat, kuliah, mengajar privat di suatu tempat, atau sekedar keluar membeli makanan di Warteg sekalipun. Sehingga ada orang yang menyindir penampilan penulis saat itu sebagai “makhluk gua”. Sedih? Pasti! Bukan hanya penampilan fisik saja, sikap sehari-hari penulis juga betul-betul dijaga dengan perilaku yang khas santri, tawadhu, menjaga pandangan, dan tentu saja menjalankan ritual secara konsisten, seperti sholat berjamaah, membaca al-Quran selepas maghrib, wirid panjang, dan hidup sederhana.
Namun, di balik “kesalehan” itu, dalam diri penulis seperti ada ego tinggi sebagai orang “saleh”. Melihat teman yang tidak sholat tepat waktu, misalnya, dalam hati terbesit celaan, wah ini orang males banget ya? Apalagi melihat tukang bangunan yang merokok pada bulan Ramadhan, penulis sering bergumam, sudahlah hidup di dunia susah, tidak sholat, nggak mau puasa, bagaimana nanti di akhirat? Bahkan dalam hati sering berkhayal menjadi seorang tentara dengan gagah berani menghajar tukang-tukang bangunan yang tidak menghargai bulan puasa itu. Jadi, sebagai orang yang memiliki ego “saleh” saat itu, penulis menganggap orang yang secara kasat mata melanggar aturan agama sebagai orang perilaku buruk yang kelak pasti masuk neraka. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa atas semua prasangka masa laluku.
Setelah penulis kuliah di IAIN yang mengajarkan tentang banyak perspektif dalam beragama, kemudian penulis menyadari bahwa di awal tinggal di Jakarta, penulis mengalami “sentimen” kesalehan. Hal ini dapat dimaklum, karena pesantren mengajarkan agama dari sedikit sudut pandang, khususnya Islam ala mazhab syafii dan ritualisme sebagai simbol kesalehan itu sendiri. Dari kesadaran ini, kemudian penulis memaknai pesan kyai yang tidak boleh menanggalkan kopyah sebagai nilai kesalehan yang harus dipegang, dimanapun berada. Karena mengenakan kopyah di semua momen, disamping secara fisik cukup merepotkan, seperti ketika naik Metro Mini berpotensi kesenggol dan terinjak-injak penumpang lain, kopyah hanyalah budaya masyarakat pesantren yang tidak berkorelasi dengan kesalehan sejati.
Dari pengalaman hidup penulis tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa orang yang merasa dirinya “saleh” cenderung memiliki ego sebagai orang baik yang merasa lebih unggul dibandingkan orang lain. Perasaan inilah yang penulis istilahkan sebagai ego-spiritual. Munculnya ego-spiritual disebabkan karena kuatnya perasaan saleh dalam diri seseorang, sehingga dia merasa pantas menilai orang lain sesuai persepsinya, meskipun dalam banyak kasus, dia melakukan pelanggaran-pelanggaran norma agama. Kejadian seperti ini sering menimpa orang yang menganggap kesalehan dari aspek lahir saja. Contoh yang paling sederhana adalah orang yang menggunakan kopyah putih, berbalut sorban, berbaju gamis, berjenggot, yang secara lahir saleh, namun di antara mereka justru ada yang melakukan kekerasan atas nama agama, seperti menyerang kafe, diskotik, atau kelompok orang yang dianggap menyimpang. Bahkan sebagian telah mewujud dalam aksi-aksi terorisme.
Demikian juga orang yang berpenampilan fisik seperti kyai, ustadz, baik cara berpakaian, tutur kata atau bahkan jidatnya terdapat titik hitam seperti bekas sujud dan sering memberikan dakwah dimana-mana, ternyata dalam kesehariannya tidak menunjukkan perilaku saleh sebagaimana seharusnya seorang kyai atau ustadz. Betapa banyak orang semacam ini yang ternyata masih mau mengambil harta yang bukan haknya, misalnya, seperti melakukan mark-up anggaran, atau bahkan melakukan korupsi dalam arti konvensional di lingkungan birokrasi.
Di lingkungan masyarakat, betapa banyak orang semacam ini yang melakukan kebohongan kepada istri dan anak-anaknya dengan berpoligami di bawah tangan. Meskipun boleh secara agama, namun jelas menyakiti keluarganya. Sementara di luaran sana mereka mengajarkan tentang kejujuran, kesantunan, dan nilai-nilai baik lainnya. Ini menunjukkan bahwa perasaan saleh dalam diri mereka telah menutup mata hati untuk menyadari kelemahan-kelemahan diri, sehingga merasa telah menjadi orang saleh. Padahal tanpa sadar, kesehariannya justru sering melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang selalu diajarkan.
Ada ungkapan menarik dari seorang sufi yang berbunyi: zayyinu anfusakum bi al-ma’shiyyah, wala tuzayyinu anfusakum bi al-maghfirah (hiasilah dirimu dengan merasa banyak dosa/maksiat, dan janganlah menghiasi dirimu dengan merasa banyak ampunan). Ungkapan sufi ini begitu bijaknya, karena merasa dirinya saleh adalah penyakit batin yang luar biasa. Imam al-Ghazali menyebutnya sebagai penyakit ‘ujub yang dikategorikan sebagai sifat yang merusakkan amal baik (al-aushaf al-muhlikat). Sedangkan perasaan diri banyak dosa/maksiat, merupakan sifat tawadhu’ yang sangat dianjurkan oleh Islam.
Bukankah semua ritual agama bertujuan untuk melembutkan hati, dan membimbing kerendahan hati dengan menutupi amal baiknya dan selalu mengingat kebaikan orang lain. Intinya, orang beragama yang benar adalah ketika di dalam hatinya tidak ada ego-spiritual yang mengandung unsur kesombongan diri. Dalam sebuah ayat al-Quran disebutkan: janganlah kalian merasa beriman, sementara kalian sedang diuji. Dalam ayat lain disebutkan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan Islam (kepasrahan total).
Oleh karena itu, orang yang benar-benar beriman, apalagi yang seakan-akan beriman, perlu mengevaluasi sikap dan perilakunya, agar jalan spiritualnya tidak dihinggapi ego yang tinggi yang dapat merusakkan kesalehan sejati. Sekarang waktunya mengevaluasi diri, adakah ego-spiritual di dalam diri kita, meskipun hanya sebesar biji sawi (dzarrah)? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Wallahu a’lam.
Thobib Al-Asyhar, alumni pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, penulis buku-buku keislaman, kandidat doktor bidang Pengkajian Islam UIN Jakarta.
No comments:
Post a Comment