Saturday, June 10, 2006

Problematika Psikologi Islam Kini dan Esok


By Rakimin al-Jawiy

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, kehadiran Psikologi Islam telah menjadi mainstream baru dalam perkembangan keilmuan psikologi dewasa ini. Posisi Psikologi Islam tidak saja bernilai The Indigenous Psychology, tetapi juga dianggap sebagai psikologi alternatif yang menelusuri alam syahadah (empirik) dan alam ghaib (meta-empirik), atau bisa dikatakan memasuki alam dunia dan akhirat. Paling tidak, untuk alasan terakhir inilah, Psikologi Islam itu eksis serta diharapkan banyak dalam membentuk kepribadian manusia sempurna yang tidak ditemukan pada mazhab psikologi yang lain.
Embrio terlahirnya Psikologi Islam sebenarnya telah di mulai di beberapa negara Islam. Gerakan ini berawal ketika Malik B Badri, seorang psikolog dari sebuah negara di Afrika, menerbitkan buku The Dilema of Moslem Psychologys pada tahun 1979. Buku yang mengkritik secara tajam psikologi Barat ini telah mendapat sambutan yang luar biasa dan menjadi peluang bagi bangkitnya disiplin ilmu Psikologi Islam.
Di Indonesia, gerakan ini dimulai tahun 1990-an. Gaungnya semakin keras di awal milenium ini dengan sambutan hangat oleh intelektual muslim, khususnya perguruan tinggi seperti UI, UIN, IAIN, UII, UMS, UNDIP, UGM, UMM dan sebagainya. Perkembangan lebih lanjut yang patut disyukuri adalah respon yang diberikan oleh Departemen Agama terhadap perjuangan wacana Psikologi Islam di Indonesia. Paling tidak, Departemen Agama pernah mengundang para pakar Psikologi Islam dan studi Islam pada bulan Agustus 2005 di Puncak-Bogor untuk merumuskan nomenklatur Psikologi Islam. Mereka diantaranya adalah Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Abdul Mujib, Yadi Purwanto, Mulyadi Kertanegara, Nasaruddin Umar, Netty Hartati, Zahrotun Nihayah, Mulyadi dan lainnya.
Ada tiga hal yang menjadi kesepakatan dalam forum tersebut, yaitu landasan filosofis, kurikulum dan infrastruktur. Berkaitan dengan kurikulum, ada empat kelompok mata kuliah yang wajib diberikan di lingkungan Departemen Agama, yaitu mata kuliah keislaman wajib di PTAI, mata kuliah wajib psikologi (Diknas), mata kuliah wajib Psikologi Islam dan mata kuliah bebas PT.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan bagi para penggagas gerakan Psikologi Islam untuk menjadikanmnya sebagai mazhab baru pasca psikoanalisis, behaviorisme, humanisme dan transpersonal. Disamping itu, beberapa simposium dan pertemuan nasional telah mencanangkan bahwa Psikologi Islam akan menjadi mazhab kelima atau mazhab alternatif.
Fuad Nashori mempunyai beberapa alasan kenapa Psikologi Islam pantas dijadikan sebagai mazhab kelima, pertama, Psikologi Islam mempunyai pandangan khas tentang dimensi sentral manusia, yaitu qalbu, kedua, Psikologi Islam dalam konteks ilmu psikologi modern mempunyai cara pandang baru tentang hubungan manusia dengan Tuhan, ketiga, Psikologi Islam memiliki potensi menjawab tantangan problema manusia modern, dan keempat, Psikologi Islam berperan dalam memperbaiki situasi nyata kehidupan manusia.

Problematika Psikologi Islam
Perlu disadari, bahwa perjuangan Psikologi Islam di Indonesia ternyata tidak semudah yang dicita-citakan. Sejumlah problematika baik pada tataran teoritik, aplikatif maupun kelembagaannya menunggu di hadapan kita. Beberapa problematika yang bisa penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya problem metodologis yang sampai saat ini belum sepenuhnya disepakati. Hal ini perlu disikapi karena salah satu persyaratan membangun ilmu pengetahuan adalah akurasi metodologis. Secara aksiologis, semua pihak sepakat akan artinya Psikologi Islam dalam menuntaskan permasalahan umat, karena Psikologi Barat kontemporer selama ini ternyata tidak sepenuhnya mampu menjawabnya. Namun secara epistimologis, dikotomi pola pikir masih tampak disana-sini. Sarjana berbasis studi Islam misalnya, masih banyak berkutat pada pendekatan normatif, sedangkan sarjana berbasis Psikologi Barat ketika mengintegrasikan dengan Islam banyak yang berkutat pada pemahaman Psikologi Baratnya.
Kedua, integrasi psikologi dengan Islam masih bertaraf teoritik dan belum pada tataran aplikatif. Hal itu terlihat pada bidang-bidang penelitian dan diagnosis masalah-masalah psikologis. Dalam kasus penelitian yang dilakukan oleh beberapa sarjana muslim, pada tingkat kerangka teori, mereka mencoba mengintegrasikan antara teori-teori psikologi Barat dengan Islam. Namun, ketika membuat instrumen penelitiannya, mereka hanya men-download dari hasil penelitian sebelumnya yang dianggap permanen, sehingga antara kerangka teorinya tidak memiliki koneksitas dengan intrumen penelitian lainnya.
Ketiga, masalah diagnosis persoalan psikologis. Sampai saat ini, Psikologi Islam belum memiliki alat tes dalam mengukur kriteria-kriteria tertentu. Jika Psikologi Islam dipandang sebagai ilmu praktis, maka kedudukan alat tes menjadi tolak ukur keberadaannya. Ironisnya, saat ini para psikolog masih berkutat pada penggunaan alat-alat tes yang diadaptasi dari teori-teori Barat tanpa mempertanyakan validitas teorinya. Kita harus berupaya mengkonstruksi alat tes sendiri yang benar-benar Islami.
Keempat, dalam training psikologis yang dilakukan oleh praktisi muslim, kalau boleh dijustifikasi sebagai produk Psikologi Islam, sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang spektakuler. Sebut saja Ary Ginanjar Agustian dengan ESQ (Emosional Spiritual Quetiont) nya. Training ini bertujuan untuk pengembangan diri dalam membangun mentalitas ummat, bukan pada pendekatan simptomatis yang menterapi gangguan kejiwaan. Sebagai entrepreneur, Ary telah menunjukkan keunggulan training yang diturunkan dari nilai-nilai Islam. Lembaganya memiliki jaringan, yang tidak saja pada kalangan akademisi, tetapi juga pada kalangan eksekutif. Dalam kasus yang hampir serupa, terapi-terapi ruqyah telah menjadi psikoterapi alternatif bagi umat Islam. Tujuan terapi ini adalah untuk menghilangkan gangguan kejiwaan pada umat karena gangguan sihir, makhluk halus atau lainnya. Namun, jika hal ini ditransformasikan di lingkungan akademis, maka tidak terelakkan klaim bahwa kampus menjadi praktek perdukunan. Padahal pada kenyataannya, terapi ruqyah ternyata memberikan solusi bagi umat yang tidak mampu dilakukan oleh para psikolog.
Kelima, kerancuan kurikulum Psikologi Islam di perguruan tinggi. Penyajian kurikulum Psikologi Islam yang ditawarkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam(PTAI) masih bersifat sparatis. Artinya, psikologi Islam masih dipahami sebagai matakuliah yang memiliki bobot SKS seperti mata kuliah yang lain. Idealnya, seluruh mata kuliah kepsikologian seharusnya mengintegrasi pada wawasan keislaman, sehingga tidak terjadi pengulangan dan tumpang tindih pada pokok-pokok bahasannya. Untuk pokok bahasan kepribadian misalnya, tidak perlu memasarkan dua mata kuliah seperti psikologi kepribadian Barat dengan psikologi kepribadian Islam, tetapi cukup dalam satu mata kuliah, psikologi kepribadian yang keduanya termuat di dalamnya.
Masalah-masalah tersebut perlu dipecahkan segera, karena transformasi teori Psikologi Islam sesungguhnya bermula dari kerangka kurikulum yang dibangun dalam suatu lembaga perguruan tinggi. Usaha-usaha untuk mendirikan fakultas atau program studi psikologi Islam harus tetap dilanjutkan, sekalipun sering mendapatkan kendala politis.
Kendatipun masih banyak berbagai kelemahan dan kekurangan, sebagai disiplin ilmu yang relatif muda, tapi telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Untuk itu, prospek Psikologi Islam ke depan menjadi tanggung jawab kita bersama seperti ilmuan psikologi, praktisi, peneliti, institusi dan peminat psikologi Islam untuk menciptakan gerakan massif memperjuangkan tegaknya Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang kokoh, baik di Indonesia maupun dunia internasional. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi hambaNya dari setiap niat yang tulus dan mulia<>

2 comments:

Unknown said...

bagus topik ini, namun kalau boleh diperincikan terutamanya tentang pelaksanaannya sekarang dan untuk jangkamasa panjang

kandagalante said...

saya suka sekali membaca tentang ESQ dan artikelnya kang ary ginanjar, psikologi sangat perlu dan harusnya diajarkan sejak dari kecil setidaknya kita bisa mendidik anak dengan ilmu psikologi sehingga anak menjadi lebih bermanfaat bagi umat.
Hanya saya tidak setuju bahwa ruqiyah dijadikan sesuatu hal yang diperbolehkan di dalam Islam karena ruqiyah=jampi2x, banyak penyesatan dan ketidakampuhan, makanya ulama islam seperti ibnu sina memperkenalkan kedokteran dan pula:
Ibnu Mas’ud menuturkan: aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)