Saturday, June 10, 2006

Psikologi Islam, "Istana" yang Belum Berdiri


By Ghozali

Belum genap lima belas tahun usia Psikologi Islam di Indonesia berdiri. Sejak kelahirannya pada simposium tahun 1994 di Solo yang dibidani oleh Psikolog-psikolog muslim yang genial dan terampil dengan semangat li i`lai kalimatillah, telah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Betapa tidak, sekitar 40-an lebih, buku-buku referensi telah diterbitkan plus membludaknya animo ilmuwan maupun akademisi yang telah menjadikan material psikologi keislaman sebagai obyek dalam penelitian mereka, seperti berupa jurnal maupun hasil penelitian untuk internal kampus (skripsi, tesis bahkan disertasi) dan lain-lain, baik di PTN maupun PTS yang ada.
Namun, di sisi yang lain, tidak sedikit kalangan yang mencibir kemampuan dan keilmiahan Psikologi Islam, baik dari kalangan psikologi arus utama (istilah Dennis Fox --mengacu pada Psikologi Modern) dengan alasan tidak bisa diverifikasi secara ilmiah. Atau adanya kecurigaan sebagian kalangan bahwa disiplin Psikologi Islam kelak dapat menimbulkan kekhawatiran akan munculnya “sengketa lahan”. Benarkah demikian? Jawabnya, bisa ya dan bisa tidak.
Jika jawabnya “iya” karena banyak intelektual Islam sendiri, ketika mereka menyoroti dasar-dasar keislaman yang dijadikan landasan teori Psikologi Islam, masih terkesan rapuh dan cenderung asal comot, bahkan lebih parahnya lagi, ada sebagian yang menganggap kehadiran tokoh-tokoh Psikologi Islam ini karena “aji mumpung” atau diuntungkan oleh “peluang”. Bahkan, pada tahap anggapan yang menyedihkan, ada seorang ilmuan agama yang hanya karena menyusun buku-buku kejiwaan islam yang nyaris “garing” kajian psikologinya dijadikan sebagai “imam” Psikologi Islam Indonesia. Bisa jadi, hal tersebut karena faktor sedikitnya ilmuwan serupa sebagai pesaing yang intens dan mau ambil bagian dalam proyek Islamisasi psikologi di nusantara ini. Padahal kalau dikritisi secara mendalam, ilmuan yang “terlanjur” dijadikan kiblat tersebut ternyata belum, atau bahkan tidak mampu membangun karakter sebuah teori keilmuan dalam Psikologi Islam, seperti bangunan epistemologi dan metodologinya.
Namun, jika jawabnya “tidak”, langkah bijak untuk menyikapi tuduhan dan kecurigaan diatas, setidaknya ada dua hal yang perlu kita ambil langkah. Pertama; defensif-proaktif yaitu sebuah langkah bertahan-berkreasi dengan menciptakan karya ilmiah, tidak patah semangat dan kalau perlu menganggap “angin lalu” atas tuduhan dan kecuriagaan tersebut. Tentu saja karya ilmiah yang kita akan bangun harus memiliki kekokohan teori yang tahan banting dari goncangan dan terjangan ombak kritik dan tuduhan. Memang, untuk mewujudkan upaya tersebut, tugas ilmuwan Psikologi Islam dalam menformulasi ajaran agama “yang terserak” yang bersumber dari Alqur`an, Hadits maupun dari khazanah (turrats) keilmuwan seperti filsafat maupun tasawuf hingga menjadi sebuah teori yang kokoh bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kemudian bangunan teori tersebut dituntut tidak hanya utuh, namun juga bersifat praksis sehingga merangsang adanya tindak lanjut penelitian bagi pengembangan landasan Psikologi Islam yang bisa dirasakan manfaatnya oleh peradaban manusia di planet bumi ini. Demikian juga bukan tugas yang ringan, yaitu upaya mereformulasi teori-teori Psikologi Barat sehingga sesuai, paling tidak mampu memberikan “suntikan” nilai-nilai idealisme Islam.
Dalam sejarah perkembangan modern Indonesia, sebenarnya langkah-langkah tersebut telah dilakukan oleh “tokoh-tokoh” Psikologi Islam, seperti Hanna Djumhana dan Fuad Nashori, yang pernah mencoba mereformulasikan melalui karya-karyanya yang berjudul “Integrasi Psikologi dengan Islam” dan “Paradigma Psikologi Islam”. Kemudian diikuti oleh beberapa tokoh lain yang datang kemudian. Namun, mereformulasikan bangunan “Psikologi Islam” memang membutuhkan kemampuan ekstra, setidaknya kemampuan ilmu alat seperti ilmu mantiq (logika) dan Bahasa Arab yang kuat untuk dapat mengakses khazanah Islam klasik seperti yang dilakukan oleh Abdul Mujib. Langkah kreatif Abdul Mujib tersebut patut diapresiasi dengan segala kelemahannya. Sebagai contoh, teori kepribadian (personality) coba ditariknya dari pendulum dasar teori psikologi Barat yang bersifat das sein ke titik ekstrem yang berlawanan das solen. Meskipun upaya tersebut tidak lepas dari kelemahan sebagai hal yang tidak realistis yang belum menawarkan sebuah konsep tentang manusia seutuhnya berlandaskan pada coidentia oppositorum, tetapi sebagai proses “ijtihad intelektual” yang mencoba mendayung dari bentangan paradigma Barat dan Islam, perlu kita berikan ruang apresiasi yang layak.
Tanpa bermaksud menggurui para ilmuan muslim yang berupaya keras membangun Psikologi Islam, analog sederhana antara psikologi modern dan Psikologi Islam diibaratkan seperti tender sebuah proyek bangunan (rumah) yang memiliki karakter perbedaan yang besar. Psikologi modern (Barat) seperti bangunan rumah yang berarsitektur amatiran (tokoh/teoritikus Barat), dan bahan material (teori-teori) bukan dari bahan yang bermutu, namun mereka memiliki banyak tukang (ilmuwan konstruktif) yang berpengalaman dan profesional serta beberapa gelintir mandor (ilmuwan tukang kritik). Sehingga “bangunan rumah” tersebut dalam waktu 1 x 24 jam dapat diselesaikan meski hanya berukuran kecil dan kurang kokoh. Walaupun kecil, rumah itu sudah mampu memberikan manfaat bagi segelintir orang, yang melindunginya dari terik matahari dan dinginnya malam ketika hujan tiba.
Sementara Psikologi Islam ibarat rumah yang berarsitektur paling profesional (konsepsi Alquran dan Hadist seperti tentang hakikat manusia) dengan rancangan maket (miniatur) sebuah istana yang kokoh yang dapat menampung ribuan orang, dengan bermodalkan bahan-bahan material pilihan dan berkualitas tinggi. Namun hingga saat ini, bangunan itu masih belum bisa berdiri, bahkan para Mandor masih sibuk berwacana tentang fondasi (epistemologi dan metodologinya). Hal ini disebabkan karena rasio antara mandor (ilmuwan + tukang kritik) dan tukangnya (ilmuwan konstruktif) lebih banyak mandornya. Sehingga tidak mengherankan apabila tender-tender yang ada selama ini selalu dimenangkan oleh Psikologi Modern.
Sebagai orang yang pernah mengenyam studi Psikologi Modern di S-1 dan menganalisisnya dengan berbagai konsepsi keislaman, saya optimistis bahwa pada saatnya nanti, ketika “tukang” yang ada mulai berpengalaman, diikuti dengan munculnya “tukang-tukang” baru yang profesional serta didukung oleh mandor-mandor yang kooperatif dan realistis, maka tidak lama lagi istana megah nan kokoh itu akan berdiri tegak dengan taman yang indah, dilengkapi dengan paku bumi anti gempa, kawat penangkal petir yang kuat dan mampu menampung ribuan orang serta fasilitas yang mewah dan sarana yang lengkap.
Kedua, menjadikan kritikan tersebut sebagai bahan refleksi untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang ada sebagai acuan untuk perbaikan dan pengembangan di masa mendatang.
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya perkembangan Psikologi Islam sehingga terkesan “jalan ditempat”, dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama; masih adanya kesenjangan antara teori dan praktek. Sekitar delapan tahun lalu, Riyono mengidentifikasi kelemahan ini, meski selama itu banyak perkembangan namun masih belum mencapai taraf cukup, apalagi ideal. Menurutnya, perbincangan Psikologi Islam selama ini baru menyentuh tataran filosofis dan belum masuk dalam metodologi ilmiah (sains). Jika wacana ini mandeg dalam kancah perdebatan filosofis, maka sulit diharapkan manfaat praktisnya. Apalagi metodologi ilmiah adalah jembatan yang mampu menerjemahkan filosofi ke ajang praktik dan amalan keseharian. Hanya dengan jalan itulah, ilmu Psikologi Islam bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak (Riyono, 1998).
Kedua, adanya polarisasi kemampuan dan keahlian ilmuwan Psikologi Islam, Di satu sisi mereka mewakili ilmuwan psikologi murni, umumnya mereka sangat expert dibidangnya, menguasai teori-teori psikologi dan sangat berpengalaman dalam wilayah praksisnya, namun kurang memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki basis pengetahuan keagamaan yang kuat. Akibatnya, kalangan ini sangat menggelikan sekali ketika mereka mengomentari atau memberi penilaian tentang aspek-aspek material dalam keislaman. Disisi lain, ilmuan agama murni seperti mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama, namun mereka tidak memiliki pengetahuan psikologi yang memadai. Akibatnya pula, seringkali ide-ide kajian keislamannya yang dikaitkan dengan kajian psikologi tidak memiliki relevansi (tidak nyambung), kalupun ada, analisa psikologinya tidak detail dan kurang menyentuh persoalan yang diangkat. Sehingga distingsi tersebut terkesan sangat kaku, parsial bahkan jauh dari idealisme Islamsasi sains.
Idealnya, paling tidak menurut pengamatan penulis, ilmuwan yang memiliki basis pengetahuan psikologi harus diimbangi dengan penguasaan wawasan keagamaan yang memadai. Sebaliknya, ilmuwan agama yang concern dengan disiplin filsafat dan tasawuf seharusnya dilengkapi dengan penguasaan pisau analisis psikologi Barat yang tajam.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mungkinkah hal tersebut bisa diraih? Jawabannya bisa saya tegaskan: why not gitu loch!!! Paling tidak, kehadiran Program Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Universitas Indonesia yang membuka jurusan Kajian Islam dan Psikologi (KIP) menjadi ”sumbu” obor Psikologi Islam yang suatu saat dapat menyala dan menerangi gelapnya psikologi Barat. Wallah a`lamu bish -shawab.

No comments: