Saturday, June 10, 2006

Quo Vadis Program KIP PSTTI-UI?


By Nanang Firdaus Masduki

Masuk ke fakultas Psikologi atau fakultas Syariah bagi sebagian orang bisa jadi sesuatu yang biasa. Karena fakultas ini sudah ada sejak lama dan telah menghasilkan banyak lulusan. Tapi masuk ke sebuah kajian keilmuan interdisipliner yang menggabungkan psikologi dengan keislaman misalnya, menjadi tidak biasa. Menjadi tidak biasa karena para penggagas program ini sudah berani merubah pakem yang ada. Menurut Jaya Suprana, para penggagas seperti ini layak disebut orang-orang keliru, karena dianggap aneh dan tidak mengacu pada masa lalu dan berani meng-create sesuatu yang baru (Indonesia).
Ya, zaman memang sudah berubah. Saat ini bukan eranya seseorang harus berada pada titik fokus satu keilmuan saja. Sebagai contoh, dalam mengukur kemampuan, sebelumnya orang hanya berpijak pada ukuran IQ saja. Tapi, kini sudah berubah. IQ hanya salah satu variabel saja bersanding dengan variabel lain seperti EQ dan SQ. Intinya, untuk mendidik atau mencari orang-orang pintar adalah sesuatu yang mudah, tapi masalahnya tidak cuma pintar tapi juga harus wise (bijak) dan berkemampuan untuk berkomunikasi dengan baik. Untuk mencetak sarjana psikologi tidaklah sulit, tapi mencari sarjana psikologi yang sekaligus memiliki depth knowledge dalam keislaman, ini yang sulit. Sebaliknya, mencetak sarjana keislaman yang menguasai bidangnya tidaklah sukar, tapi mencari sarjana keislaman sekaligus menguasai psikologi modern, ini yang sulit. Bagi penulis, disinilah letak kajian psikologi dan Islam menemukan urgensitasnya. Menurut informasi yang ada, paling tidak sampai saat ini, UI masih menjadi pelopornya dan ternyata peminatnya juga bisa dibilang lumayan. Masalahnya, sejauh ini ternyata masih banyak ditemukan kekurangan dalam program ini.
Jika kita cermati lebih jeli, menurut pengamatan penulis, program Kajian Islam dan Psikologi (KIP) PSTTI-UI ini terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, diantara;
Pertama, sejauh pengamatan penulis, tujuan dan target dari program ini masih berada dalam tataran wacana, untuk tidak dikatakan mengambang. Tidak secara tegas disebutkan SDM unggul seperti apa yang ingin dibentuk, atau kapabilitas dalam bidang apa lulusannya kelak bisa bertarung secara intelektual. Terlepas apakah lulusannya nanti akan menjadi manusia seperti yang diidealkan atau tidak. Tapi, target dan tujuan seperti ini harus secara tegas ditancapkan. Jika ini dilakukan, akan memudahkan siapa saja, baik pengelola, tenaga pengajar, maupun calon peserta untuk mengidentifikasi ke arah mana kajian ini dimaksud. Jangan sampai cita-cita itu terjadi bukan karena by design tapi by condition. Ini yang harus dihindari semaksimal mungkin.
Kenapa? Karena pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berorientasi terhadap karakter. Bukan pendidikan yang berorientasi pada bagaimana mencetak orang pintar. Sangat berbahaya jika tidak kedua-duanya. Dalam hal ini, program Kajian Islam dan Psikologi (KIP) harus secara jelas memetakan ke arah mana kajian ini akan dibawa. Yang sekarang tampak adalah, kajian yang setengah-setengah. Kajian tentang keislaman setengah, sebaliknya kajian psikologi juga setengah. Indikasinya, terdapat beberapa mata kuliah yang tidak cocok dan tidak berpijak pada tema besar kajian ini. Imbasnya, tidak ada materi yang dikuasai secara mapan. Perlu digarisbawahi juga, penentuan tujuan dan target ini bukan pada profesi apa lulusan kajian ini akan meniti karir setelah lulus nanti. Tapi lebih kepada kapabilitas yang akan diperoleh lulusannya kelak. Sehingga menjadi modal utama bagi lulusannya untuk meniti karir di kemudian hari.
Kedua, ketika tujuan dan target ini berada dalam wilayah abu-abu, directly akan berimbas pada content materi-materi perkuliahan/silabus. Dalam pendidikan, silabus pengajaran merupakan sesuatu yang penting. Tanpa itu, pendidikan akan berjalan tanpa arah. Sejauh pengamatan penulis, silabus yang ada saat ini masih menggunakan cara lama. Silabus dengan alur top down. Artinya, seolah-olah mahasiswa hanya disuapi saja materi-materi yang ada. Terlepas apakah sudah pernah mendapatkan materi yang sama pada jenjang S1 atau belum sama sekali. Karena alur yang digunakan seperti ini, maka jangan heran kalau banyak mahasiswa kajian ini yang merasa berjalan di tempat dan bosan dengan materi perkuliahan yang memang sudah dikuasainya itu.
Terus terang, cara ini sudah sangat tidak mendukung perkembangan keilmuan yang begitu pesat dewasa ini. Menurut penulis, alur yang digunakan sebaiknya menggunakan alur bottom up. Artinya, sebelum dosen mulai perkuliahan, sebaiknya ditanyakan dahulu kepada mahasiswa apakah ada materi-materi yang sudah ditentukan dalam silabus yang sudah dipelajari. Jika ada, sebaiknya diganti dengan materi yang baru. Kalaupun yang pernah dipelajari baru sebatas pengantar, sebaiknya dilakukan enrichment (pengayaan) untuk memberikan muatan lebih.
Ketiga, sebagai sebuah kajian baru di Indonesia, sumber-sumber acuan dan rujukan berupa buku-buku, jurnal dan artikel-artikel yang mengkaji psikologi Islam dirasakan sangat minim sekali. Di pasaran maupun di perpustakaan sangat jarang ditemukan sumber-sumber tersebut. Yang sudah banyak tersedia sekarang ini hanya buku-buku psikologi modern. Pada tataran global kajian ini sebenarnya tidak baru-baru amat, sejak lama kajian ini sudah dirintis oleh kalangan cendekiawan. Hanya gaungnya belum begitu terdengar di Indonesia. Sudah banyak pula buku, jurnal dan artikel yang ditulis seputar kajian ini. Pada tahapan ini, seyogyanya Kajian Islam dan Psikologi (KIP) PSTTI-UI mempelopori untuk menyediakan, mengumpulkan, menterjemahkan dan menerbitkan buku-buku resources primer dan sekunder tentang psikologi Islam dan buku-buku terkait. Sehingga terjadi transfer keilmuan dan memudahkan siapa saja untuk mengakses resources tersebut.
Keempat, kualitas dosen yang tidak merata. Tanpa bermaksud merendahkan siapapun atau bersikap arogan, dari pengalaman perkuliahan selama ini, beberapa mahasiswa mengeluh tentang kualitas dosen (pemateri). Para mahasiswa menganggap, materi-materi yang disampaikan standar-standar saja. Wacana keilmuan yang dikembangkan juga tidak terlalu istimewa. Walau tidak menafikan, terdapat pula beberapa materi kuliah yang disampaikan beberapa dosen yang memang qualified, amat istimewa dan fresh dalam bidangnya. Ketimpangan kualifikasi dosen inilah yang dirasakan sekali oleh mahasiswa. Pada satu sisi, terdapat dosen-dosen yang qualified dan fresh. Pada sisi lain, maaf-maaf saja, terdapat dosen-dosen yang biasa-biasa saja. Padahal, bobot staf pengajar ini adalah salah satu hal penting terkait dengan eksistensi program KIP yang diusung oleh PSTTI-UI ini.
Kelima, instrumen Nilai. Sejauh pengamatan penulis, bagi pengelola kajian ini, nilai mahasiswa menjadi hal yang sangat penting. Termasuk di dalamnya penilaian yang menyangkut absensi. Bahkan ada beberapa dosen yang menetapkan nilai dan absensi sebagai harga mati. Terlepas dari niat baik yang dimaksud, tapi cara berfikir seperti ini menunjukkan status quo. Bisa dikatakan, inilah salah satu potret manajemen pendidikan kita. Bukannya mendorong mahasiswa untuk menjadi peneliti atau ilmuwan yang kreatif, tapi membuat sistem yang menjadikan mahasiswa sebagai pendengar yang baik. Lebih parah lagi, alih-alih menjadi pendengar yang baik, malah mereka berada dalam ketakutan. Kontrol bukan lagi dengan absensi dan angka kehadiran tetapi dengan result, hasil. Sebagai pembanding, di negara-negara yang pendidikannya maju, nilai bukan dipakai untuk mengukur kecerdasan seseorang, tapi memberikan apresiasi pada seseorang, mendorong, meng-encourage mahasiswa untuk belajar.

Perbaikan Silabus; Sebuah Usulan?
Kajian Islam dan Psikologi (KIP) saat ini boleh dibilang masih berada dalam fase pembentukan. Dalam fase ini pengelola masih mencari-cari bentuk dan tema silabus yang pas dan cocok. Sehingga terkadang perubahan bisa terjadi sewaktu-waktu. Pada fase ini rasa tidak puas bisa menyebar ke mana-mana. Menurut hemat penulis, ini pula yang terjadi pada mayoritas mahasiswa Kajian Islam dan Psikologi saat ini. Hal ini terjadi ketika mereka mempunyai high expectation terhadap kajian ini, tapi pada kenyataannya jauh dari sesuai dengan realitas yang mereka dapatkan. Yang muncul kemudian adalah kekecewaan.
Pada fase pembentukan, ketidakpuasan adalah sesuatu yang biasa terjadi. Masalahnya sekarang, bagaimana kita mengelola ketidakpuasan ini dengan baik dan berubah menjadi kepuasan. Olok-olok berubah menjadi kebanggaan. Karena kalau tidak dikelola dengan baik, rasa tidak puas ini akan menjadi PR (public relation) yang buruk bagi masa depan kajian ini. Secara umum, ketidakpuasan peserta kajian ini bermuara pada rendahnya substansi keilmuan yang mereka dapatkan. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kajian ini tampak setengah-setengah. Kajian Islam setengah, psikologi juga setengah. Salah satunya disebabkan oleh penyusunan silabus yang lemah. Untuk itu akan kami sampaikan beberapa usulan tentang silabus ini.
Dari fakta yang ada, mahasiswa yang mengikuti program kajian Islam dan psikologi berlatar belakang pendidikan sarjana yang berbeda-beda. Ada dari psikologi, syariah, pendidikan, teologi, bahkan ekonomi. Fakta ini bagi sebagian dosen mungkin dianggap menyulitkan. Tapi tidak bagi penulis. Yang harus menjadi prinsip kita adalah adanya perbedaan latar belakang pendidikan dan budaya keilmuan masing-masing mahasiswa, harusnya tidak dianggap sebagai suatu dikotomi dan menyulitkan, tetapi suatu paradoks yang bisa direkonsiliasikan dan dikembangkan menjadi kekuatan. Kalau tidak, sampai kapanpun kita tidak akan mempunyai pakar dalam bidang keislaman sekaligus psikologi seperti yang diidamkan.
Sebelum bicara alternatif silabus yang ditawarkan, penulis menggarisbawahi 2 hal yang sepertinya menjadi ketentuan di program kajian ini (bisa salah atau benar), yaitu, pertama, setiap semester 1, 2 dan 3 terdiri dari 5 matakuliah. Kedua, total matakuliah selama 4 semester adalah 16 matakuliah plus penulisan tesis. Atas dasar dua ketentuan tadi, berikut penulis sampaikan 2 alternatif komposisi matakuliah program kajian Islam dan Psikologi:

Alternatif Pertama
1. Pembagian jenis matakuliah antara keislaman dan psikologi.
2. Jika pada semester 1 terdiri dari 5 matakuliah keislaman, maka semester kedua seluruhnya matakuliah psikologi. Sementara semester ketiga adalah kombinasi keduanya.
3. Matakuliah keislaman dan psikologi yang ditawarkan merupakan keyword studi Islam dan psikologi.
4. Kelebihannya adalah memberikan fundamental keilmuan bagi mereka yang baru belajar keislaman maupun psikologi.
5. Kelemahannya adalah munculnya rasa bosan bagi mahasiswa yang pernah mempelajari keislaman maupun psikologi jika pada satu semester diisi hanya dengan materi yang sama.

Berikut formasi yang diusulkan:

Target minimal dari dua alternatif yang diusulkan tersebut adalah mahasiswa program S2 menguasai basic keilmuan keislaman dan psikologi. Jawaban atas pertanyaan apakah mereka mampu merepresentasikan psikologi Islam atau tidak kelak, disinilah sebenarnya tugas mereka sebagai mahasiswa pascasarjana. Untuk terus mencari, meng-eksplore, melakukan riset dan menemukan formula-formula baru. Logikanya, sesuatu yang paradoks saja bisa direkonsiliasikan dan dikembangkan menjadi kekuatan, apalagi kajian ini yang mempunyai sumber dan objek yang sama. It’s more than opportunity<>

No comments: