Saturday, June 10, 2006

Arah dan Tantangan Psikologi Islam


By Hasan Mawardi

Dalam perspektif Alquran (Islam), manusia adalah makhluk unik. Di satu sisi, ia disanjung sedemikian tinggi, bahkan melebihi ketinggian malaikat sebagai makhluk spiritual sampai mereka disuruh Tuhan untuk bersujud dan mengakui keunggulannya. Sedangkan di sisi yang lain, ia dicerca, direndahkan serta dihinakan, bahkan lebih hina dari binatang.
Karena keunikannya itu, berbagai disiplin ilmu pengetahuan tentang manusia kemudian lahir. Salah satu disiplin ilmu pengetahuan tersebut adalah psikologi. Yaitu ilmu yang melihat dan menempatkan manusia sebagai obyek kajiannya, khususnya perilaku manusia. Bahkan, karena keunikannya itu pula, mazhab-mazhab psikologi seperti Psikoanalisa, Behaviorisme, dan Humanisme antroposentris tidak bisa memberikan jawaban tuntas tentang perilaku manusia. Masing-masing mazhab hanya mampu melihat manusia dari satu sisi pandang saja.
Sebagai disiplin ilmu baru, Psikologi Islam lahir sebagai antitesis terhadap berbagai Madzhab Psikologi Barat modern. Dalam wataknya yang terbuka, saat ini, disiplin ilmu Psikologi Modern harus mere-definisi dirinya, sehingga Psikologi Islam bisa menjadi salah satu alternatif yang dapat ditawarkan. Meskipun Psikologi Barat berfokus pada ego sebagai subjek dan objek yang menjadi landasan sentral paham hedonisme dan individualisme Barat, sedangkan Psikologi Islam mendasarkan pada spiritualisme, namun keduanya memiliki titik singgung dimana manusia sebagai obyek kajiannya.
Seiring dengan kesadaran kembali spiritualisme di dunia Barat, agama kini mulai dilirik kembali sebagai solusi alternatif. Di Indonesia, beberapa universitas seperti UI, UIN, UMS, UII, UGM, Unisba dan lainnya menawarkan mata kuliah Psikologi Islam. Asosiasi Psikologi Islam (API) bahkan sudah menjadi bagian dari HIMPSI, dan International Association of Muslim Psychologist. Namun, bangunan konsepsi Psikologi Islam yang integral belum berdiri, kerangka teori belum utuh, penjabaran terapan belum baku, bahkan penelitian-penelitian empirik yang ekstensif untuk mendukung teori dan terapannya belum dilakukan secara massif. Selain itu, fokusnya masih diarahkan pada wilayah Psikoanalisis.
Jika kita amati, wilayah kajian Psikoanalisis dalam pengembangan Psikologi Islam memang yang paling menyolok, karena menyediakan perbedaan yang paling kontras dengan konsepsi Alquran tentang manusia. Hampir setiap hal yang dikemukakan oleh psikoanalisis merupakan kebalikan dari apa yang menjadi konsepsi dasar Islam tentang manusia. Sementara psikoanalisis bukan aliran pemikiran yang dominan di dalam psikologi modern.
Dalam konsepsi Islam, tingkah laku adalah ekspresi jiwa manusia. Dari dulu manusia bertanya apa itu jiwa? Ilmu yang berbicara tentang jiwa antara lain; filsafat, tasawuf, dan psikologi. Kalau Psikologi yang lahir di Barat dimensinya hanya bersifat horizontal karena basic-nya sekuler. Sedangkan dalam Islam jiwa dibahas dalam konteks hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Psikologi Barat Vs Islam
Dalam psikologi Barat, psikologi bekerja mengurai tentang tingkah laku, memprediksi dan terkadang mengendalikan tingkah laku yang bersifat horisontal. Sementara dalam Islam yang diwakili ilmu akhlak dan tasawuf --dua Ilmu yang berbicara tentang jiwa-- berbicara bagaimana mengubah tingkah laku menjadi baik dan bagaimana jiwa dekat dengan Tuhan. Jika Psikologi Barat berbicara tentang perilaku yang nampak (nyatanya), Psikologi Islam berbicara tentang manusia seutuhnya (ideal) dengan mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan yang dimiliki.
Dalam tinjauan agak spesifik, Psikologi Barat sudah tidak lagi memadai untuk meneliti kejiwaan keberagamaan seseorang, seperti kegagalannya memahami fenomena revolusi Islam Iran pada masa Khomaeni. Pada saat itu, kematian sebagai syahid menjadi dambaan setiap masyarakat Iran, sehingga lahirlah gagasan atau aliran the indigenous psikologi atau psikologi pribumi sebagai revisi terhadap kekeliruan psikologi Barat.
Perbedaan lain antara keduanya adalah pada ranah metodologi. Kalau Psikologi Barat adalah hasil renungan dan eksperimen labolatorium, sedangkan psikologi Islam, sumber informasi utamanya adalah Alquran, Hadis Nabi saw, filsawat dan tasawuf untuk kemudian dijadikan barometer penghayatan dan pengalaman kejiwaan, serta eksperimentasi labolatorium sebagai upaya verifikasi, falsifikasi dan perbandingan seperti yang dilakukan para psikolog Barat.
Karena itu, --paling tidak untuk sementara ini-- dibanding eksperimentasi labolatorium, ahli-ahli psikologi Islam lebih banyak mengutip dalil Alquran dan Hadis serta warisan-warisan (turats) klasik Islam. Ketika berbicara kecerdasan spiritual misalnya, psikologi Barat nampak kering. Tetapi psikologi Islam yang berbasis wahyu, kecerdasan spiritual itu dibahas sangat mendalam, luas dan indah. Kenapa? Karena dimensi spiritual merupakan wilayah agama.
Namun kita harus akui, meskipun baju Psikologi Barat nampak ada bolong di sana-sini, kiprahnya hingga kini tetap masih dominan dan populer. Karena kepopuleran dan kekokohan bangunan teorinya, sebagian besar psikolog berbasis psikologi Barat tidak mau mengakui kelahiran ”adik” barunya, Psikologi Islam. Bahkan oleh mereka, adik baru ini dianggap sebagai ”anak haram” yang tidak ilmiah. Sebagian mereka nampak tidak dewasa, cemburu, tidak suka dan khawatir keberadaan sang adik nanti akan melindas eksistensinya yang sudah mapan. Sebagian lagi nampak lebih dewasa, bahkan menaruh harapan baru pada sang adik, Psikologi Islam, yang baru lahir begitu didambakan oleh banyak orang. Mereka dengan gembira menyambut kehadirannya dan menerimanya sebagai anggota baru dari The big family of psychology. Sang adik diharapkan dapat menjadi mazhab pelengkap dan alternatif dari mazhab-mazhab psikologi yang ada sekarang, terutama pada tingkat psikologi terapan.
Maka, terlepas dari pro dan kontra kakak-kakaknya, Psikologi Barat sangat berjasa besar terhadap kelahiran Psikologi Islam. Tanpa Psikologi Barat, kelahiran Psikologi Islam pasti akan terus menjadi wacana, dan karena itu, ia tidak dapat berdiri sendiri. Jadi, sebesar apapun kelak Psikologi Islam eksis, secara historis, tidak akan pernah bisa lepas dari psikologi Barat. Ia datang sebagai alternatif dan pelengkap, bukan sebagai saingan atau lawan.
Namun, di tengah optimisme kelahiran Psikologi Islam sebagai disiplin keilmuan yang kokoh, kita patut merenungkan apa yang pernah dilontarkan oleh P. Huntington, Profesor di Harvard University, dalam bukunya “The Crash of Civilization”. Ia menyebutnya akan ada benturan antar peradaban dunia Islam dengan Barat. Ia meramalkan secara simplistis bahwa peta peradaban dunia akan berubah menjadi tiga sekte besar: Islam, Kristen dan Konfusianisme. Islam mewakili masyarakat dan pikiran kaum muslimin (yang sebagian di negara ketiga dan dunia belahan Timur) dan Kristen mewakili budaya dan masyarakat dunia Barat dan Eropa, serta Konfusianisme mewakili China, Jepang dan sejenis ajarannya.
Terlepas dari akan terbukti atau tidak hipotesis Huntington tersebut, para ilmuan, pemerhati dan peminat psikologi Islam patut mengantisipasi, bagaimana jika hal ini benar-benar terjadi? Setelah runtuhnya komunisme, maka musuh terbesar Barat diramalkan adalah Islam. Paling tidak, dunia Barat nampak berusaha mengarahkan perkembangan dunia ke arah prediksi P. Huntington, dan menganggap Islam --minimal Iran saat ini-- sebagai ancaman terbesar dunia Barat ke depan<>

Psikologi Islam, "Istana" yang Belum Berdiri


By Ghozali

Belum genap lima belas tahun usia Psikologi Islam di Indonesia berdiri. Sejak kelahirannya pada simposium tahun 1994 di Solo yang dibidani oleh Psikolog-psikolog muslim yang genial dan terampil dengan semangat li i`lai kalimatillah, telah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Betapa tidak, sekitar 40-an lebih, buku-buku referensi telah diterbitkan plus membludaknya animo ilmuwan maupun akademisi yang telah menjadikan material psikologi keislaman sebagai obyek dalam penelitian mereka, seperti berupa jurnal maupun hasil penelitian untuk internal kampus (skripsi, tesis bahkan disertasi) dan lain-lain, baik di PTN maupun PTS yang ada.
Namun, di sisi yang lain, tidak sedikit kalangan yang mencibir kemampuan dan keilmiahan Psikologi Islam, baik dari kalangan psikologi arus utama (istilah Dennis Fox --mengacu pada Psikologi Modern) dengan alasan tidak bisa diverifikasi secara ilmiah. Atau adanya kecurigaan sebagian kalangan bahwa disiplin Psikologi Islam kelak dapat menimbulkan kekhawatiran akan munculnya “sengketa lahan”. Benarkah demikian? Jawabnya, bisa ya dan bisa tidak.
Jika jawabnya “iya” karena banyak intelektual Islam sendiri, ketika mereka menyoroti dasar-dasar keislaman yang dijadikan landasan teori Psikologi Islam, masih terkesan rapuh dan cenderung asal comot, bahkan lebih parahnya lagi, ada sebagian yang menganggap kehadiran tokoh-tokoh Psikologi Islam ini karena “aji mumpung” atau diuntungkan oleh “peluang”. Bahkan, pada tahap anggapan yang menyedihkan, ada seorang ilmuan agama yang hanya karena menyusun buku-buku kejiwaan islam yang nyaris “garing” kajian psikologinya dijadikan sebagai “imam” Psikologi Islam Indonesia. Bisa jadi, hal tersebut karena faktor sedikitnya ilmuwan serupa sebagai pesaing yang intens dan mau ambil bagian dalam proyek Islamisasi psikologi di nusantara ini. Padahal kalau dikritisi secara mendalam, ilmuan yang “terlanjur” dijadikan kiblat tersebut ternyata belum, atau bahkan tidak mampu membangun karakter sebuah teori keilmuan dalam Psikologi Islam, seperti bangunan epistemologi dan metodologinya.
Namun, jika jawabnya “tidak”, langkah bijak untuk menyikapi tuduhan dan kecurigaan diatas, setidaknya ada dua hal yang perlu kita ambil langkah. Pertama; defensif-proaktif yaitu sebuah langkah bertahan-berkreasi dengan menciptakan karya ilmiah, tidak patah semangat dan kalau perlu menganggap “angin lalu” atas tuduhan dan kecuriagaan tersebut. Tentu saja karya ilmiah yang kita akan bangun harus memiliki kekokohan teori yang tahan banting dari goncangan dan terjangan ombak kritik dan tuduhan. Memang, untuk mewujudkan upaya tersebut, tugas ilmuwan Psikologi Islam dalam menformulasi ajaran agama “yang terserak” yang bersumber dari Alqur`an, Hadits maupun dari khazanah (turrats) keilmuwan seperti filsafat maupun tasawuf hingga menjadi sebuah teori yang kokoh bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kemudian bangunan teori tersebut dituntut tidak hanya utuh, namun juga bersifat praksis sehingga merangsang adanya tindak lanjut penelitian bagi pengembangan landasan Psikologi Islam yang bisa dirasakan manfaatnya oleh peradaban manusia di planet bumi ini. Demikian juga bukan tugas yang ringan, yaitu upaya mereformulasi teori-teori Psikologi Barat sehingga sesuai, paling tidak mampu memberikan “suntikan” nilai-nilai idealisme Islam.
Dalam sejarah perkembangan modern Indonesia, sebenarnya langkah-langkah tersebut telah dilakukan oleh “tokoh-tokoh” Psikologi Islam, seperti Hanna Djumhana dan Fuad Nashori, yang pernah mencoba mereformulasikan melalui karya-karyanya yang berjudul “Integrasi Psikologi dengan Islam” dan “Paradigma Psikologi Islam”. Kemudian diikuti oleh beberapa tokoh lain yang datang kemudian. Namun, mereformulasikan bangunan “Psikologi Islam” memang membutuhkan kemampuan ekstra, setidaknya kemampuan ilmu alat seperti ilmu mantiq (logika) dan Bahasa Arab yang kuat untuk dapat mengakses khazanah Islam klasik seperti yang dilakukan oleh Abdul Mujib. Langkah kreatif Abdul Mujib tersebut patut diapresiasi dengan segala kelemahannya. Sebagai contoh, teori kepribadian (personality) coba ditariknya dari pendulum dasar teori psikologi Barat yang bersifat das sein ke titik ekstrem yang berlawanan das solen. Meskipun upaya tersebut tidak lepas dari kelemahan sebagai hal yang tidak realistis yang belum menawarkan sebuah konsep tentang manusia seutuhnya berlandaskan pada coidentia oppositorum, tetapi sebagai proses “ijtihad intelektual” yang mencoba mendayung dari bentangan paradigma Barat dan Islam, perlu kita berikan ruang apresiasi yang layak.
Tanpa bermaksud menggurui para ilmuan muslim yang berupaya keras membangun Psikologi Islam, analog sederhana antara psikologi modern dan Psikologi Islam diibaratkan seperti tender sebuah proyek bangunan (rumah) yang memiliki karakter perbedaan yang besar. Psikologi modern (Barat) seperti bangunan rumah yang berarsitektur amatiran (tokoh/teoritikus Barat), dan bahan material (teori-teori) bukan dari bahan yang bermutu, namun mereka memiliki banyak tukang (ilmuwan konstruktif) yang berpengalaman dan profesional serta beberapa gelintir mandor (ilmuwan tukang kritik). Sehingga “bangunan rumah” tersebut dalam waktu 1 x 24 jam dapat diselesaikan meski hanya berukuran kecil dan kurang kokoh. Walaupun kecil, rumah itu sudah mampu memberikan manfaat bagi segelintir orang, yang melindunginya dari terik matahari dan dinginnya malam ketika hujan tiba.
Sementara Psikologi Islam ibarat rumah yang berarsitektur paling profesional (konsepsi Alquran dan Hadist seperti tentang hakikat manusia) dengan rancangan maket (miniatur) sebuah istana yang kokoh yang dapat menampung ribuan orang, dengan bermodalkan bahan-bahan material pilihan dan berkualitas tinggi. Namun hingga saat ini, bangunan itu masih belum bisa berdiri, bahkan para Mandor masih sibuk berwacana tentang fondasi (epistemologi dan metodologinya). Hal ini disebabkan karena rasio antara mandor (ilmuwan + tukang kritik) dan tukangnya (ilmuwan konstruktif) lebih banyak mandornya. Sehingga tidak mengherankan apabila tender-tender yang ada selama ini selalu dimenangkan oleh Psikologi Modern.
Sebagai orang yang pernah mengenyam studi Psikologi Modern di S-1 dan menganalisisnya dengan berbagai konsepsi keislaman, saya optimistis bahwa pada saatnya nanti, ketika “tukang” yang ada mulai berpengalaman, diikuti dengan munculnya “tukang-tukang” baru yang profesional serta didukung oleh mandor-mandor yang kooperatif dan realistis, maka tidak lama lagi istana megah nan kokoh itu akan berdiri tegak dengan taman yang indah, dilengkapi dengan paku bumi anti gempa, kawat penangkal petir yang kuat dan mampu menampung ribuan orang serta fasilitas yang mewah dan sarana yang lengkap.
Kedua, menjadikan kritikan tersebut sebagai bahan refleksi untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang ada sebagai acuan untuk perbaikan dan pengembangan di masa mendatang.
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya perkembangan Psikologi Islam sehingga terkesan “jalan ditempat”, dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama; masih adanya kesenjangan antara teori dan praktek. Sekitar delapan tahun lalu, Riyono mengidentifikasi kelemahan ini, meski selama itu banyak perkembangan namun masih belum mencapai taraf cukup, apalagi ideal. Menurutnya, perbincangan Psikologi Islam selama ini baru menyentuh tataran filosofis dan belum masuk dalam metodologi ilmiah (sains). Jika wacana ini mandeg dalam kancah perdebatan filosofis, maka sulit diharapkan manfaat praktisnya. Apalagi metodologi ilmiah adalah jembatan yang mampu menerjemahkan filosofi ke ajang praktik dan amalan keseharian. Hanya dengan jalan itulah, ilmu Psikologi Islam bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak (Riyono, 1998).
Kedua, adanya polarisasi kemampuan dan keahlian ilmuwan Psikologi Islam, Di satu sisi mereka mewakili ilmuwan psikologi murni, umumnya mereka sangat expert dibidangnya, menguasai teori-teori psikologi dan sangat berpengalaman dalam wilayah praksisnya, namun kurang memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki basis pengetahuan keagamaan yang kuat. Akibatnya, kalangan ini sangat menggelikan sekali ketika mereka mengomentari atau memberi penilaian tentang aspek-aspek material dalam keislaman. Disisi lain, ilmuan agama murni seperti mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama, namun mereka tidak memiliki pengetahuan psikologi yang memadai. Akibatnya pula, seringkali ide-ide kajian keislamannya yang dikaitkan dengan kajian psikologi tidak memiliki relevansi (tidak nyambung), kalupun ada, analisa psikologinya tidak detail dan kurang menyentuh persoalan yang diangkat. Sehingga distingsi tersebut terkesan sangat kaku, parsial bahkan jauh dari idealisme Islamsasi sains.
Idealnya, paling tidak menurut pengamatan penulis, ilmuwan yang memiliki basis pengetahuan psikologi harus diimbangi dengan penguasaan wawasan keagamaan yang memadai. Sebaliknya, ilmuwan agama yang concern dengan disiplin filsafat dan tasawuf seharusnya dilengkapi dengan penguasaan pisau analisis psikologi Barat yang tajam.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mungkinkah hal tersebut bisa diraih? Jawabannya bisa saya tegaskan: why not gitu loch!!! Paling tidak, kehadiran Program Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Universitas Indonesia yang membuka jurusan Kajian Islam dan Psikologi (KIP) menjadi ”sumbu” obor Psikologi Islam yang suatu saat dapat menyala dan menerangi gelapnya psikologi Barat. Wallah a`lamu bish -shawab.

Problematika Psikologi Islam Kini dan Esok


By Rakimin al-Jawiy

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, kehadiran Psikologi Islam telah menjadi mainstream baru dalam perkembangan keilmuan psikologi dewasa ini. Posisi Psikologi Islam tidak saja bernilai The Indigenous Psychology, tetapi juga dianggap sebagai psikologi alternatif yang menelusuri alam syahadah (empirik) dan alam ghaib (meta-empirik), atau bisa dikatakan memasuki alam dunia dan akhirat. Paling tidak, untuk alasan terakhir inilah, Psikologi Islam itu eksis serta diharapkan banyak dalam membentuk kepribadian manusia sempurna yang tidak ditemukan pada mazhab psikologi yang lain.
Embrio terlahirnya Psikologi Islam sebenarnya telah di mulai di beberapa negara Islam. Gerakan ini berawal ketika Malik B Badri, seorang psikolog dari sebuah negara di Afrika, menerbitkan buku The Dilema of Moslem Psychologys pada tahun 1979. Buku yang mengkritik secara tajam psikologi Barat ini telah mendapat sambutan yang luar biasa dan menjadi peluang bagi bangkitnya disiplin ilmu Psikologi Islam.
Di Indonesia, gerakan ini dimulai tahun 1990-an. Gaungnya semakin keras di awal milenium ini dengan sambutan hangat oleh intelektual muslim, khususnya perguruan tinggi seperti UI, UIN, IAIN, UII, UMS, UNDIP, UGM, UMM dan sebagainya. Perkembangan lebih lanjut yang patut disyukuri adalah respon yang diberikan oleh Departemen Agama terhadap perjuangan wacana Psikologi Islam di Indonesia. Paling tidak, Departemen Agama pernah mengundang para pakar Psikologi Islam dan studi Islam pada bulan Agustus 2005 di Puncak-Bogor untuk merumuskan nomenklatur Psikologi Islam. Mereka diantaranya adalah Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Abdul Mujib, Yadi Purwanto, Mulyadi Kertanegara, Nasaruddin Umar, Netty Hartati, Zahrotun Nihayah, Mulyadi dan lainnya.
Ada tiga hal yang menjadi kesepakatan dalam forum tersebut, yaitu landasan filosofis, kurikulum dan infrastruktur. Berkaitan dengan kurikulum, ada empat kelompok mata kuliah yang wajib diberikan di lingkungan Departemen Agama, yaitu mata kuliah keislaman wajib di PTAI, mata kuliah wajib psikologi (Diknas), mata kuliah wajib Psikologi Islam dan mata kuliah bebas PT.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan bagi para penggagas gerakan Psikologi Islam untuk menjadikanmnya sebagai mazhab baru pasca psikoanalisis, behaviorisme, humanisme dan transpersonal. Disamping itu, beberapa simposium dan pertemuan nasional telah mencanangkan bahwa Psikologi Islam akan menjadi mazhab kelima atau mazhab alternatif.
Fuad Nashori mempunyai beberapa alasan kenapa Psikologi Islam pantas dijadikan sebagai mazhab kelima, pertama, Psikologi Islam mempunyai pandangan khas tentang dimensi sentral manusia, yaitu qalbu, kedua, Psikologi Islam dalam konteks ilmu psikologi modern mempunyai cara pandang baru tentang hubungan manusia dengan Tuhan, ketiga, Psikologi Islam memiliki potensi menjawab tantangan problema manusia modern, dan keempat, Psikologi Islam berperan dalam memperbaiki situasi nyata kehidupan manusia.

Problematika Psikologi Islam
Perlu disadari, bahwa perjuangan Psikologi Islam di Indonesia ternyata tidak semudah yang dicita-citakan. Sejumlah problematika baik pada tataran teoritik, aplikatif maupun kelembagaannya menunggu di hadapan kita. Beberapa problematika yang bisa penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
Pertama, adanya problem metodologis yang sampai saat ini belum sepenuhnya disepakati. Hal ini perlu disikapi karena salah satu persyaratan membangun ilmu pengetahuan adalah akurasi metodologis. Secara aksiologis, semua pihak sepakat akan artinya Psikologi Islam dalam menuntaskan permasalahan umat, karena Psikologi Barat kontemporer selama ini ternyata tidak sepenuhnya mampu menjawabnya. Namun secara epistimologis, dikotomi pola pikir masih tampak disana-sini. Sarjana berbasis studi Islam misalnya, masih banyak berkutat pada pendekatan normatif, sedangkan sarjana berbasis Psikologi Barat ketika mengintegrasikan dengan Islam banyak yang berkutat pada pemahaman Psikologi Baratnya.
Kedua, integrasi psikologi dengan Islam masih bertaraf teoritik dan belum pada tataran aplikatif. Hal itu terlihat pada bidang-bidang penelitian dan diagnosis masalah-masalah psikologis. Dalam kasus penelitian yang dilakukan oleh beberapa sarjana muslim, pada tingkat kerangka teori, mereka mencoba mengintegrasikan antara teori-teori psikologi Barat dengan Islam. Namun, ketika membuat instrumen penelitiannya, mereka hanya men-download dari hasil penelitian sebelumnya yang dianggap permanen, sehingga antara kerangka teorinya tidak memiliki koneksitas dengan intrumen penelitian lainnya.
Ketiga, masalah diagnosis persoalan psikologis. Sampai saat ini, Psikologi Islam belum memiliki alat tes dalam mengukur kriteria-kriteria tertentu. Jika Psikologi Islam dipandang sebagai ilmu praktis, maka kedudukan alat tes menjadi tolak ukur keberadaannya. Ironisnya, saat ini para psikolog masih berkutat pada penggunaan alat-alat tes yang diadaptasi dari teori-teori Barat tanpa mempertanyakan validitas teorinya. Kita harus berupaya mengkonstruksi alat tes sendiri yang benar-benar Islami.
Keempat, dalam training psikologis yang dilakukan oleh praktisi muslim, kalau boleh dijustifikasi sebagai produk Psikologi Islam, sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang spektakuler. Sebut saja Ary Ginanjar Agustian dengan ESQ (Emosional Spiritual Quetiont) nya. Training ini bertujuan untuk pengembangan diri dalam membangun mentalitas ummat, bukan pada pendekatan simptomatis yang menterapi gangguan kejiwaan. Sebagai entrepreneur, Ary telah menunjukkan keunggulan training yang diturunkan dari nilai-nilai Islam. Lembaganya memiliki jaringan, yang tidak saja pada kalangan akademisi, tetapi juga pada kalangan eksekutif. Dalam kasus yang hampir serupa, terapi-terapi ruqyah telah menjadi psikoterapi alternatif bagi umat Islam. Tujuan terapi ini adalah untuk menghilangkan gangguan kejiwaan pada umat karena gangguan sihir, makhluk halus atau lainnya. Namun, jika hal ini ditransformasikan di lingkungan akademis, maka tidak terelakkan klaim bahwa kampus menjadi praktek perdukunan. Padahal pada kenyataannya, terapi ruqyah ternyata memberikan solusi bagi umat yang tidak mampu dilakukan oleh para psikolog.
Kelima, kerancuan kurikulum Psikologi Islam di perguruan tinggi. Penyajian kurikulum Psikologi Islam yang ditawarkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam(PTAI) masih bersifat sparatis. Artinya, psikologi Islam masih dipahami sebagai matakuliah yang memiliki bobot SKS seperti mata kuliah yang lain. Idealnya, seluruh mata kuliah kepsikologian seharusnya mengintegrasi pada wawasan keislaman, sehingga tidak terjadi pengulangan dan tumpang tindih pada pokok-pokok bahasannya. Untuk pokok bahasan kepribadian misalnya, tidak perlu memasarkan dua mata kuliah seperti psikologi kepribadian Barat dengan psikologi kepribadian Islam, tetapi cukup dalam satu mata kuliah, psikologi kepribadian yang keduanya termuat di dalamnya.
Masalah-masalah tersebut perlu dipecahkan segera, karena transformasi teori Psikologi Islam sesungguhnya bermula dari kerangka kurikulum yang dibangun dalam suatu lembaga perguruan tinggi. Usaha-usaha untuk mendirikan fakultas atau program studi psikologi Islam harus tetap dilanjutkan, sekalipun sering mendapatkan kendala politis.
Kendatipun masih banyak berbagai kelemahan dan kekurangan, sebagai disiplin ilmu yang relatif muda, tapi telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Untuk itu, prospek Psikologi Islam ke depan menjadi tanggung jawab kita bersama seperti ilmuan psikologi, praktisi, peneliti, institusi dan peminat psikologi Islam untuk menciptakan gerakan massif memperjuangkan tegaknya Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu yang kokoh, baik di Indonesia maupun dunia internasional. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi hambaNya dari setiap niat yang tulus dan mulia<>

Quo Vadis Program KIP PSTTI-UI?


By Nanang Firdaus Masduki

Masuk ke fakultas Psikologi atau fakultas Syariah bagi sebagian orang bisa jadi sesuatu yang biasa. Karena fakultas ini sudah ada sejak lama dan telah menghasilkan banyak lulusan. Tapi masuk ke sebuah kajian keilmuan interdisipliner yang menggabungkan psikologi dengan keislaman misalnya, menjadi tidak biasa. Menjadi tidak biasa karena para penggagas program ini sudah berani merubah pakem yang ada. Menurut Jaya Suprana, para penggagas seperti ini layak disebut orang-orang keliru, karena dianggap aneh dan tidak mengacu pada masa lalu dan berani meng-create sesuatu yang baru (Indonesia).
Ya, zaman memang sudah berubah. Saat ini bukan eranya seseorang harus berada pada titik fokus satu keilmuan saja. Sebagai contoh, dalam mengukur kemampuan, sebelumnya orang hanya berpijak pada ukuran IQ saja. Tapi, kini sudah berubah. IQ hanya salah satu variabel saja bersanding dengan variabel lain seperti EQ dan SQ. Intinya, untuk mendidik atau mencari orang-orang pintar adalah sesuatu yang mudah, tapi masalahnya tidak cuma pintar tapi juga harus wise (bijak) dan berkemampuan untuk berkomunikasi dengan baik. Untuk mencetak sarjana psikologi tidaklah sulit, tapi mencari sarjana psikologi yang sekaligus memiliki depth knowledge dalam keislaman, ini yang sulit. Sebaliknya, mencetak sarjana keislaman yang menguasai bidangnya tidaklah sukar, tapi mencari sarjana keislaman sekaligus menguasai psikologi modern, ini yang sulit. Bagi penulis, disinilah letak kajian psikologi dan Islam menemukan urgensitasnya. Menurut informasi yang ada, paling tidak sampai saat ini, UI masih menjadi pelopornya dan ternyata peminatnya juga bisa dibilang lumayan. Masalahnya, sejauh ini ternyata masih banyak ditemukan kekurangan dalam program ini.
Jika kita cermati lebih jeli, menurut pengamatan penulis, program Kajian Islam dan Psikologi (KIP) PSTTI-UI ini terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, diantara;
Pertama, sejauh pengamatan penulis, tujuan dan target dari program ini masih berada dalam tataran wacana, untuk tidak dikatakan mengambang. Tidak secara tegas disebutkan SDM unggul seperti apa yang ingin dibentuk, atau kapabilitas dalam bidang apa lulusannya kelak bisa bertarung secara intelektual. Terlepas apakah lulusannya nanti akan menjadi manusia seperti yang diidealkan atau tidak. Tapi, target dan tujuan seperti ini harus secara tegas ditancapkan. Jika ini dilakukan, akan memudahkan siapa saja, baik pengelola, tenaga pengajar, maupun calon peserta untuk mengidentifikasi ke arah mana kajian ini dimaksud. Jangan sampai cita-cita itu terjadi bukan karena by design tapi by condition. Ini yang harus dihindari semaksimal mungkin.
Kenapa? Karena pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berorientasi terhadap karakter. Bukan pendidikan yang berorientasi pada bagaimana mencetak orang pintar. Sangat berbahaya jika tidak kedua-duanya. Dalam hal ini, program Kajian Islam dan Psikologi (KIP) harus secara jelas memetakan ke arah mana kajian ini akan dibawa. Yang sekarang tampak adalah, kajian yang setengah-setengah. Kajian tentang keislaman setengah, sebaliknya kajian psikologi juga setengah. Indikasinya, terdapat beberapa mata kuliah yang tidak cocok dan tidak berpijak pada tema besar kajian ini. Imbasnya, tidak ada materi yang dikuasai secara mapan. Perlu digarisbawahi juga, penentuan tujuan dan target ini bukan pada profesi apa lulusan kajian ini akan meniti karir setelah lulus nanti. Tapi lebih kepada kapabilitas yang akan diperoleh lulusannya kelak. Sehingga menjadi modal utama bagi lulusannya untuk meniti karir di kemudian hari.
Kedua, ketika tujuan dan target ini berada dalam wilayah abu-abu, directly akan berimbas pada content materi-materi perkuliahan/silabus. Dalam pendidikan, silabus pengajaran merupakan sesuatu yang penting. Tanpa itu, pendidikan akan berjalan tanpa arah. Sejauh pengamatan penulis, silabus yang ada saat ini masih menggunakan cara lama. Silabus dengan alur top down. Artinya, seolah-olah mahasiswa hanya disuapi saja materi-materi yang ada. Terlepas apakah sudah pernah mendapatkan materi yang sama pada jenjang S1 atau belum sama sekali. Karena alur yang digunakan seperti ini, maka jangan heran kalau banyak mahasiswa kajian ini yang merasa berjalan di tempat dan bosan dengan materi perkuliahan yang memang sudah dikuasainya itu.
Terus terang, cara ini sudah sangat tidak mendukung perkembangan keilmuan yang begitu pesat dewasa ini. Menurut penulis, alur yang digunakan sebaiknya menggunakan alur bottom up. Artinya, sebelum dosen mulai perkuliahan, sebaiknya ditanyakan dahulu kepada mahasiswa apakah ada materi-materi yang sudah ditentukan dalam silabus yang sudah dipelajari. Jika ada, sebaiknya diganti dengan materi yang baru. Kalaupun yang pernah dipelajari baru sebatas pengantar, sebaiknya dilakukan enrichment (pengayaan) untuk memberikan muatan lebih.
Ketiga, sebagai sebuah kajian baru di Indonesia, sumber-sumber acuan dan rujukan berupa buku-buku, jurnal dan artikel-artikel yang mengkaji psikologi Islam dirasakan sangat minim sekali. Di pasaran maupun di perpustakaan sangat jarang ditemukan sumber-sumber tersebut. Yang sudah banyak tersedia sekarang ini hanya buku-buku psikologi modern. Pada tataran global kajian ini sebenarnya tidak baru-baru amat, sejak lama kajian ini sudah dirintis oleh kalangan cendekiawan. Hanya gaungnya belum begitu terdengar di Indonesia. Sudah banyak pula buku, jurnal dan artikel yang ditulis seputar kajian ini. Pada tahapan ini, seyogyanya Kajian Islam dan Psikologi (KIP) PSTTI-UI mempelopori untuk menyediakan, mengumpulkan, menterjemahkan dan menerbitkan buku-buku resources primer dan sekunder tentang psikologi Islam dan buku-buku terkait. Sehingga terjadi transfer keilmuan dan memudahkan siapa saja untuk mengakses resources tersebut.
Keempat, kualitas dosen yang tidak merata. Tanpa bermaksud merendahkan siapapun atau bersikap arogan, dari pengalaman perkuliahan selama ini, beberapa mahasiswa mengeluh tentang kualitas dosen (pemateri). Para mahasiswa menganggap, materi-materi yang disampaikan standar-standar saja. Wacana keilmuan yang dikembangkan juga tidak terlalu istimewa. Walau tidak menafikan, terdapat pula beberapa materi kuliah yang disampaikan beberapa dosen yang memang qualified, amat istimewa dan fresh dalam bidangnya. Ketimpangan kualifikasi dosen inilah yang dirasakan sekali oleh mahasiswa. Pada satu sisi, terdapat dosen-dosen yang qualified dan fresh. Pada sisi lain, maaf-maaf saja, terdapat dosen-dosen yang biasa-biasa saja. Padahal, bobot staf pengajar ini adalah salah satu hal penting terkait dengan eksistensi program KIP yang diusung oleh PSTTI-UI ini.
Kelima, instrumen Nilai. Sejauh pengamatan penulis, bagi pengelola kajian ini, nilai mahasiswa menjadi hal yang sangat penting. Termasuk di dalamnya penilaian yang menyangkut absensi. Bahkan ada beberapa dosen yang menetapkan nilai dan absensi sebagai harga mati. Terlepas dari niat baik yang dimaksud, tapi cara berfikir seperti ini menunjukkan status quo. Bisa dikatakan, inilah salah satu potret manajemen pendidikan kita. Bukannya mendorong mahasiswa untuk menjadi peneliti atau ilmuwan yang kreatif, tapi membuat sistem yang menjadikan mahasiswa sebagai pendengar yang baik. Lebih parah lagi, alih-alih menjadi pendengar yang baik, malah mereka berada dalam ketakutan. Kontrol bukan lagi dengan absensi dan angka kehadiran tetapi dengan result, hasil. Sebagai pembanding, di negara-negara yang pendidikannya maju, nilai bukan dipakai untuk mengukur kecerdasan seseorang, tapi memberikan apresiasi pada seseorang, mendorong, meng-encourage mahasiswa untuk belajar.

Perbaikan Silabus; Sebuah Usulan?
Kajian Islam dan Psikologi (KIP) saat ini boleh dibilang masih berada dalam fase pembentukan. Dalam fase ini pengelola masih mencari-cari bentuk dan tema silabus yang pas dan cocok. Sehingga terkadang perubahan bisa terjadi sewaktu-waktu. Pada fase ini rasa tidak puas bisa menyebar ke mana-mana. Menurut hemat penulis, ini pula yang terjadi pada mayoritas mahasiswa Kajian Islam dan Psikologi saat ini. Hal ini terjadi ketika mereka mempunyai high expectation terhadap kajian ini, tapi pada kenyataannya jauh dari sesuai dengan realitas yang mereka dapatkan. Yang muncul kemudian adalah kekecewaan.
Pada fase pembentukan, ketidakpuasan adalah sesuatu yang biasa terjadi. Masalahnya sekarang, bagaimana kita mengelola ketidakpuasan ini dengan baik dan berubah menjadi kepuasan. Olok-olok berubah menjadi kebanggaan. Karena kalau tidak dikelola dengan baik, rasa tidak puas ini akan menjadi PR (public relation) yang buruk bagi masa depan kajian ini. Secara umum, ketidakpuasan peserta kajian ini bermuara pada rendahnya substansi keilmuan yang mereka dapatkan. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kajian ini tampak setengah-setengah. Kajian Islam setengah, psikologi juga setengah. Salah satunya disebabkan oleh penyusunan silabus yang lemah. Untuk itu akan kami sampaikan beberapa usulan tentang silabus ini.
Dari fakta yang ada, mahasiswa yang mengikuti program kajian Islam dan psikologi berlatar belakang pendidikan sarjana yang berbeda-beda. Ada dari psikologi, syariah, pendidikan, teologi, bahkan ekonomi. Fakta ini bagi sebagian dosen mungkin dianggap menyulitkan. Tapi tidak bagi penulis. Yang harus menjadi prinsip kita adalah adanya perbedaan latar belakang pendidikan dan budaya keilmuan masing-masing mahasiswa, harusnya tidak dianggap sebagai suatu dikotomi dan menyulitkan, tetapi suatu paradoks yang bisa direkonsiliasikan dan dikembangkan menjadi kekuatan. Kalau tidak, sampai kapanpun kita tidak akan mempunyai pakar dalam bidang keislaman sekaligus psikologi seperti yang diidamkan.
Sebelum bicara alternatif silabus yang ditawarkan, penulis menggarisbawahi 2 hal yang sepertinya menjadi ketentuan di program kajian ini (bisa salah atau benar), yaitu, pertama, setiap semester 1, 2 dan 3 terdiri dari 5 matakuliah. Kedua, total matakuliah selama 4 semester adalah 16 matakuliah plus penulisan tesis. Atas dasar dua ketentuan tadi, berikut penulis sampaikan 2 alternatif komposisi matakuliah program kajian Islam dan Psikologi:

Alternatif Pertama
1. Pembagian jenis matakuliah antara keislaman dan psikologi.
2. Jika pada semester 1 terdiri dari 5 matakuliah keislaman, maka semester kedua seluruhnya matakuliah psikologi. Sementara semester ketiga adalah kombinasi keduanya.
3. Matakuliah keislaman dan psikologi yang ditawarkan merupakan keyword studi Islam dan psikologi.
4. Kelebihannya adalah memberikan fundamental keilmuan bagi mereka yang baru belajar keislaman maupun psikologi.
5. Kelemahannya adalah munculnya rasa bosan bagi mahasiswa yang pernah mempelajari keislaman maupun psikologi jika pada satu semester diisi hanya dengan materi yang sama.

Berikut formasi yang diusulkan:

Target minimal dari dua alternatif yang diusulkan tersebut adalah mahasiswa program S2 menguasai basic keilmuan keislaman dan psikologi. Jawaban atas pertanyaan apakah mereka mampu merepresentasikan psikologi Islam atau tidak kelak, disinilah sebenarnya tugas mereka sebagai mahasiswa pascasarjana. Untuk terus mencari, meng-eksplore, melakukan riset dan menemukan formula-formula baru. Logikanya, sesuatu yang paradoks saja bisa direkonsiliasikan dan dikembangkan menjadi kekuatan, apalagi kajian ini yang mempunyai sumber dan objek yang sama. It’s more than opportunity<>

TEORI MIMPI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI SUFI IBN ARABI DAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD


By Ghozali

Nama : Abu bakar Bin Ali Muhyiddin Alhatimi Attha`i (Ibn Arabi)
Lahir : 17 Agustus 1165 Murcia, Tenggara Spanyol
Wafat : Nopember 1240
L-B. Pendidikan : Filsafat dan Tasawuf
Ajaran : Tasawuf Falsafi
Metodologi : Ilham Intuitif
Karyanya : Futuhat al-Makkiyah, Fusus Al-hikam, Tarjuman al-aswaq, Rasa`il Ibn al-Arabi, dll.

Nama : Sigmund Freud
Lahir : 6 mei 1856, Moravia-Austria
Wafat : 23 September 1939 London
L.B. Pendidikan : Kedokteran (Neurolog)
Ajaran : Psikoanalisis
Metodologi : Subyektif Spekulatif
Karyanya : The Interpretation of dream, Studies in histeria, Civilazation and its contents, The future of an Illusion, General introduction to psikoanalisis, dll.

Pendahuluan
Hampir sepertiga bahkan lebih dari kehidupan manusia pada umumnya dihabiskan untuk tidur. Jika usia rata-rata manusia 60 tahun, maka selama 20 tahun diisi dengan tidur. Waktu yang tidak sedikit bukan? Namun dengan tidur, tidak berarti manusia melewati masa sia-sia karena tidur menjaga metabolisme tubuh agar tetap stabil. Menurut hasil penelitian, setelah 72 jam tidak tidur, akan menyebabkan gangguan psikotik.
Dengan tidur pula, kita dapat mengakses dunia yang memperantarai dua alam (fenomena dan abstrak) melalui mimpi. Mimpi juga memiliki manfaat, pertama; sebagai pemenuhan keinginan terlarang (Freud) misalnya: menonjok jidat pejabat negara yang kita benci tanpa dipidanakan, dan jika beruntung, kita dapat “berhubungan seksual” dengan artis idola dunia yang cantik atau ganteng. Kedua; sebagai sumber ilmu maupun risalah kenabian (Ibn Arabi).
Sadruddin Qunawi, murid Ibn Arabi mengatakan bahwa “Syeikh kita Ibn Arabi memiliki kemampuan bertemu dengan ruh nabi atau wali yang telah meninggal dunia, baik dengan cara membuatnya turun ke taraf dunia ini dan merenungkannya di dalam tubuh penampakan (surah mitsaliyah) yang serupa dengan bentuk indrawi orangnya atau dengan membuatnya muncul dalam mimpi, atau dengan melepaskan diri dari tubuh materiil supaya menemui sang ruh.2
Dalam karya pertama yang sangat monumental, Interpretation of Dream, Freud menjadikan mimpi sebagai obyek riset psikoanalisis untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis pada pasiennya. Dengan karyanya ini, Freud mulai diperhitungkan perannya dalam dunia psikologi. Tidak sedikit yang dipengaruhinya, diantaranya C.G. Jung, Alfred Adler yang kemudian bergabung dibawah naungan psikoanalisis Freud, meski tidak berlangsung lama. Bahkan, banyak ahli psikoterapi yang menekankan pentingnya analisa mimpi.
Kalau kita lacak lebih jauh, sekitar 600 tahun sebelum teori ini muncul, Ibn Arabi (filosof sekaligus sufi dari Spanyol) sebenarnya pun sudah banyak membahas tentang mimpi. Banyak kelebihan teori mimpinya yang tidak dimiliki oleh Freud, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan kelebihan satu tokoh diantarannya, namun lebih menekankan pada titik temu sekaligus perbedaannya untuk mencari sinergi bagi lahirnya sebuah teori tentang mimpi yang lebih utuh untuk pengembangan psikoterapi di masa mendatang.

Definisi Mimpi
Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur.3 Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga.4 Jika Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon, maka Ibn Arabi mengidentifikasinya sebagai bagian dari imajinasi.
Bagi Ibnu Arabi, karena mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya, terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Baginya, imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur “rupa penampakan” mereka, dan karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data indera (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani.5
Ia juga menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam bangun kecakapan ini juga disimpangkan oleh kesan-kesan indera (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.6

Hakikat Mimpi
Pada dasarnya hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk pemenuhan keinginan terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin S.Hal & Gardner Lindzaey, 1998) bahwa dengan mimpi, seseorang secara tak sadar berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata sulit bagi kita untuk mrengungkapkan kekesalan, keresahan, kemarahan, dendam, dan yang sejenisnya kepada obyek-obyek yang menjadi sumber rasa marah, maka muncullah dalam keinginan itu dalam bentuk mimpi.7
Sementara dalam teori Ibn Arabi lebih bersifat komplementer, setidaknya dalam hal ini, disamping memiliki substansi sebagai pemenuhan keinginan, Ibn Arabi juga memandang situasi penciptaan sebagai pernyataan tidur, dimana kosmos (semesta-pen) yang tercipta terlihat sebagai mimpi Ilahi. Pengalaman manusia merupakan citra mikrokosmik. Oleh karena itu, seluruh situasi penciptaan yang memerlukan alam “yang lain” untuk mempengaruhi tujuannya, dapat dipandang sebagai semacam lamunan Ilahi, dimana ilusi sesuatu yang “bukan Aku” diperkenalkan pada kesadaran Ilahi sebagai refleksi posibilitasnya.8

Jenis dan Manfaat Mimpi
Freud mengenalkan satu jenis mimpi yaitu mimpi kanak-kanak, dimana pada tahun-tahun berikutnya akan ditemukan mimpi yang bertipe sama, bahkan pada orang dewasa, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang valid serta dapat digeneralisasi pada tahapan berikutnya. Tekhnik tersebut lazim dilakukan oleh Freud, sebagaimana acuan tahapan-tahapan psikoseksual dalam teori kepribadiannya. Berbeda dengan Jung, rekan sekaligus muridnya, yang membagi mimpi menjadi dua; mimpi retrospektif dan mimpi introspektif.
Sedangkan Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga, Pertama; mimpi atau kesan-kesan yang berhubungan dengan kejadian sehari-hari dari orang itu dan mengirimkannya ke ”mata batin” dari hati yang merefleksikan dan membesarkan mereka seperti layaknya sebuah cermin. Dengan cara inilah, mimpi biasa muncul sebagai asosiasi-asosiasi dari pikiran-pikiran (ideas) dan kesan-kesan (images) yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan beberapa obyek syahwat.9
Jika kita cermati, melihat manfaat jenis mimpi Ibnu Arabi tersebut ada kemiripan dengan teori Freud, meski ia tidak mengkategorikannya sebagai bagian jenis mimpi. Freud menyebutnya sebagai pemenuhan atau refleksi keinginan seseorang, baik berupa kesenangan, maupun sesuatu yang mengerikan (mimpi buruk) sekalipun. Baginya, hal itu terjadi karena adanya mimpi yang terdistorsi yang tidak memperlihatkan adanya pemenuhan keinginan yang jelas sehingga harus dicari terlebih dahulu dan diinterpretasikan. Kita juga mengetahui bahwa keinginan yang mendasari mimpi yang terdistorsi adalah keinginan-keinginan yang dilarang dan ditolak oleh penyensoran, sehingga eksistensi mereka menjadi penyebab distorsi dan merupakan motif campur tangan penyensoran.10
Kedua: semacam arus yang mengalir namun tetap bersih, dimana dipancarkan obyek-obyek segala gambaran (mimpi simbolis-pen). Ibn Arabi menyatakan bahwa walaupun mimpi-mimpi semacam itu dapat dipercaya, namun itu harus ditafsirkan karena hanya berupa simbol-simbol saja. Imajinasilah yang mensuplai simbol-simbol itu. Dan kita tidak harus mengambil simbol-simbol itu secara realitas. Ketika Nabi melihat susu di dalam mimpinya, ia hanya melihat simbol saja, kualitas di balakang air susu itu adalah “pengetahuan”.11
Freud mengatakan bahwa simbolisme merupakan bagian paling mengagumkan dalam teorinya. Karena dalam beberapa kondisi, simbol memungkinkan kita menginterpretasikan mimpi tanpa harus mengajukan pertanyaan pada orang yang mengalami mimpi yang kadang-kadang malah tidak bisa memberitahukan apa-apa tentang simbol-simbol itu. Disini Freud juga mencoba menyimpulkan beberapa hal mengenai simbolisme dalam mimpi. Pertama; kita menentang pendapat bahwa orang yang bermimpi merasa tidak mengetahui bahwa simbol-simbol berhubungan dengan kehidupan dalam kondisi bangun. Kedua; hubungan simbolik bukan sesuatu yang khas bagi orang yang bermimpi, tapi ruang lingkup simbolisme sangat luas. Simbolisme mimpi hanya bagian kecil saja. Ini berbeda dengan simbolisme pada mitos, dongeng dan sebagainya. Ketiga; simbolisme yang muncul di bidang lain ternyata berhubungan dengan tema-tema seksual seperti dalam mimpi simbol-simbol yang sama juga melambangkan obyek dan hubungan seksual, misalnya: simbol phallic (alat kelamin) yang diinterpretasikan Jung sebagai unsur arketipe “mana” (spiritual).
Tapi bagi Freud dianggap sebagai alat kelamin yang sebenarnya. Intinya, Freud seringkali mengkait-kaitkan simbolisme dalam mimpi sebagai organ atau aktivitas seksual seperti; sepatu, sandal, dataran, kebun serta bunga sebagai perlambang vagina, sementara dasi diartikan sebagai penis, dan bahan dasi (linen) adalah lambang milik wanita. Sedangkan baju dan seragam melambangkan ketelanjangan. Keempat: simbolisme adalah faktor kedua dan faktor independen dalam distorsi mimpi yang hidup berdampingan dengan penyensoran.12
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari jenis mimpi ini adalah berupa; pengetahuan. Pemenang nobel, Loevi, memimpikan sebuah eksperimen selama 3 malam. Pada malam pertama, ia membuat catatan tapi tidak bisa menguraikannya kembali dan pada malam ketiga ia terbangun melakukan eksperimen dan memecahkan penemuannya.13
Ketiga: mimpi spiritual non simbolik, yaitu; mimpi-mimpi yang dapat dipercaya yang tidak ada simbolnya. Disini imajinasi tidak campur tangan. “Hati” langsung merefleksikan kesan-kesan spiritual (ma`ani ghaibiyah). Sebelum imajinasi dapat membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak memerlukan penafsiran, mereka adalah wahyu-wayu dari yang riil itu sendiri. Dan mimpi-mimpi berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian) di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu (revelation) dan ilham, inspirasi yang keluar langsung dari jiwa individual.14 Karakteristik serta manfaat dari mimpi jenis ini hanya dapat diperoleh oleh jiwa-jiwa yang telah menjalani penyucian hati hingga mencapai tarafnya para wali atau para nabi.
Kategori mimpi ketiga inilah yang sama sekali tidak disinggung oleh Sigmund Freud dalam teorinya, bahkan tidak mampu dijamah oleh C.G.Jung dalam klasifikasi teori mimpinya.

Interpretasi Mimpi
Mengenai interpretasi tentang mimpi , Ibn Arabi mengatakan bahwa segala sesuatu datang dalam alam imajinasi karena mereka tafsirkan. Ini berarti bahwa sesuatu itu sendiri memiliki bentuk tertentu yang muncul dalam bentuk lain sehingga sang penafsir mendapatkan sesuatu dari bentuk yang dilihat oleh si pemimpi kepada sesuatu itu sendiri. Jika dia berasil, seperti munculnya pengetahuan dalam bentuk susu kepada bentuk pengetahuan, sehingga mengubah makna sesungguhnya dari keduanya- dari satu bidang ke bidang lainnya, yang merupakan perubahan yang tepat dari bentuk susu menjadi bentuk pengetahuan.
Ketika Yusuf as berkata “Aku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, yang kulihat semuanya sujud padaku”. Yusuf melihat saudara-saudaranya dalam bentuk bintang-bintang dan melihat ayah dan bibinya sebagai matahari dan bulan, ini sudut pandang Yusuf. Tetapi, dilihat dari sudut pandang siapapun juga, perwujudan saudara-saudara sebagai bintang, dan ayah serta bibinya sebagai matahari dan bulan dikaitkan dengan harapan dan doa mereka. Jadi, selama mereka tidak ada pengetahuan atas apa yang dilihat Yusuf mengenai apa yang ia lihat, berperan melalui kemampuan imajinatifnya sendiri. Ketika Yusuf memberitahu Ya`qub tentang pandangannya ini, Ya`qub memahami situasi ini dan bersabda, “ Anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada sudara-saudaramu, kalau tidak, mereka akan membuat makar (untuk membinasakanmu)”. Kemudian Ya`qub mulai membebaskan putranya dari makar dan menempatkan itu di pintu syetan yang sangat mahir dalam soal makar, sambil mengatakan, “sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”, yang secara lahiriah memang begitu.
Lebih jauh lagi, Yusuf berkata, “inilah arti mimpiku yang dahulu itu, sesungguhya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan”, yaitu Tuhan menjadikannya terwujud pada pikiran sehat, yang sebelumnya terbentuk dari imajinasi. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad bersabda, “manusia tidur”, sedangkan Yusuf berkata, Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”. Karena berkenaan dengan apa yang dikatakan sang Nabi, ia berada dalam posisi seseorang yang bermimpi sehingga beliau telah terbangun dari sebuah mimpi dan kemudian menafsirkannya. Orang seperti ini tidak mengetahui bahwa dia masih tertidur dan bermimpi, tetapi saat terbangun, dia berkata,”Aku telah melihat begini dan begitu, yang, dengan bermimpi bahwa aku telah bangun, aku tafsirkan.” Sama seperti inilah situasi Yusuf. 15
Ungkapan Ibn Arabi mengenai pengetahuan pemimpi atas makna mimpinya, hampir senada dengan apa yang dikemukakan oleh Freud, bahwa “dalam kasus mimpi, orang yang bermimpi selalu mengatakan tidak tahu apa makna mimpinya. Sedangkan kita juga tidak mempunyai apapun untuk memberi penjelasan kepadanya. Tapi saya akan meyakinkan anda bahwa masih ada kemungkinan, bahkan cukup besar, karena orang yang bermimpi itu sebenarnya mengetahui apa makna mimpinya, Hanya saja dia tidak tahu bahwa dia mengetahuinya sehingga dia mengira dirinya tidak tahu apa-apa.16
Seperti pembahasan mengenai simbolisme, dalam interpretasinya, Freud lebih mengaitkan dengan tema-tema seksual dengan melambangkan simbol-simbol tersebut dengan obyek maupun aktivitas seksual. Demikian pula halnya dengan Ibn Arabi, Ia hanya memberikan ruang untuk penafsiran pada jenis mimpi simbolis. Tentu interpretasinya tidak hanya sebatas penekanan pada obyek-obyek seksual. Perbedaan definisi, hakikat, jenis mimpi, manfaat serta interpretasi mimpi antara teori Ibn Arabi dengan Freud yang telah kami jelaskan diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:

Mungkin pandangan Freud lebih lengkap dari Ibnu Arabi mengenai cara kerja, sensor mimpi serta teknik-teknik interpretasi secara detail. Hal ini bisa jadi karena masih terbatasnya karya-karya Ibn Arabi yang dapat diakses atau memang rumitnya pemahaman atas konsepnya, sebagaimana yang diilustrasikan oleh A.J. Arberry bahwa “Ibn Arabi bisa dibandingkan dengan sebuah puncak gunung yang belum dieksplor, banyak wilayah pada sisi yang sudah dikenal, tetapi masih harus ditentukan dengan tepat bagaimana arah menuju puncaknya, atau dengan ketinggian apa air mancur itu meluapi dengan baik pada sungai yang kuat dari semua pemikiran mistik selanjutnya, baik muslim maupun Kristen17 <>


Mencari Alamat Jiwa Dalam Psikologi Kontemporer


Oleh Asri Jali

Judul buku : Alqur’ân wa `Ilm Alnafs
Penulis : Muhammad `Utsmân
Najâtiy
Penerbit : Dâr Alsyurûq
Tahun terbit : 1421 H / 2001 M
Tebal buku : 318 halaman

Sebelum membaca buku Alqur’ân wa `Ilm Alnafs, ada baiknya sedikit mengenal Muhammad `Utsmân Najâtiy. Najâtiy adalah guru besar (‘ustâdz) psikologi di Universitas Cairo, Universitas Kuwait, dan Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud - Saudi Arabia. Ketertarikan Najâtiy dengan Alquran dan psikologi dimulai saat ia menulis tesis dengan judul Al’idarâk Alhissiy `inda Ibn Sînâ: Bahtsun fî `ilmi Alnafs `inda Al`arab (Persepsi menurut Ibnu Sina: Sebuah Penelitian tentang Psikologi dalam Dunia Arab). Desertasi ini ditulis selama rentang tahun 1939 – 1942. Najâtiy memiliki perhatian yang tinggi dalam penelitian tentang dasar-dasar Islam seputar psikologi di dalam Alquran, Hadis Nabi, dan dalam karya-karya ilmuan Muslim klasik. Kajian-kajian itu telah ia bukukan, di antaranya -selain yang kita akan baca- Alhadîts Alnabawiy wa `Ilm Nafs (Hadis Nabi dan Psikologi, Beirut, 2001; Aldirâsât Alnafsâniyyah `inda Al`ulamâ’ Almuslimîn (Kajian Kejiwaan Menurut Ulama Muslimin) , Beirut, 1993;`Ilm Nafs Alshinâ`iy (Psikologi Industri), Kuwait, 1994; `Ilm Nafs Alharbiy (Psikoligi Perang), Kairo, 1960; dan `Ilm Alnafs wa Alhayâh (Psikologi dan Kehidupan), Kuwait, 1992. Najâtiy juga aktif dalam menerjemahkan buku psikologi Barat ke dalam bahasa Arab. Sebutlah Ma`âlim Altahlîl Alnafsiy terjemahan Outline of Psychoanalysis; Alkaff wa Al`radh wa Alqalaq terjemahan Inhibitions, symptoms and Anxiety; dan Tsalâts Rasâ’il fî Nazhariyyah Aljins terjemahan Three Essays on Sexuality. Kesemuanya karya Sigmund Freud. Selain itu ia sering menjadi pembimbing penulisan tesis dan desertasi para mahasiswa di bidang psikologi.

Alqur’ân wa `Ilm Alnafs
Alqur’ân wa `Ilm Alnafs berarti Alquran dan Psikologi. Tujuan buku ini ditulis sebagaimana penulis jelaskan dalam pengantarnya sebagai upaya untuk menghimpun fakta-fakta dan konsep-konsep tentang jiwa yang terdapat dalam Alquran, dan dapat dijadikan acuan dalam membuat struktur yang jelas tentang kepribadian dan tingkah laku manusia. Hingga memungkinkan untuk membuka jalan bagi lahirnya penelitian-penelitian baru tentang ilmu jiwa, yang berupaya meletakkan dasar bagi teori-teori baru tentang kepribadian yang fakta dan konsepnya sesuai dengan fakta dan konsep Alquran tentang manusia.
Saat seorang Muslim menjadikan psikologi kontemporer sebagai pisau analisis dan menjadikan teks-teks wahyu sebagai justifikasi, jangan sampai seperti apa yang disampaikan oleh Malik B. Badri bahwa psikolog Muslim kini berada dalam Liang Biawak yang sulit keluar darinya. Kekhawatiran akan masuknya psikolog Muslim dalam liang Biawak, tulis Mujib dan Mudzakir, ternyata menjadi kenyataan. Dawam Rahardjo misalnya dalam karya "Ensiklopedia Al-Quran"-nya menyamakan konsep alnafs almuthma'innah dengan superego, alnafs allawwâmah dengan ego, dan alnafs al’'ammârah dengan id. Penyamaan ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing term memiliki asumsi filosofis yang berbeda. Konsep ketiga alnafs tersebut diasumsikan dari paradigma teosentris, sedangkan id, ego dan superego diasumsikan dari paradigma antroposentris yang menafikan kebermaknaan agama dalam kehidupan manusia. Selain itu penyamaan tersebut mengakibatkan biasnya sains dan direduksinya agama ke taraf sains.
Buku ini menjadi laik dikaji karena lahir dari seorang guru besar dalam psikologi dan memiliki kemampuan pemahaman keislaman yang baik. Di sinilah sisi kelebihan Najâtiy. Bila kita gunakan istilah yang dipakai oleh Malik B. Badri tentang persepsi psikolog Muslim terhadap psikologi Barat buku Najâtiy telah masuk pada pase ketiga, yaitu emansipasi. Fase di mana mereka sudah mulai kritis terhadap teori psikologi dan berusaha menggali konsep-konsep psikologi yang ada dalam Alquran.
Buku ini terdiri atas sepuluh pasal. Pasal pertama, motif prilaku dalam Alquran; pasal kedua, emosi dalam Alquran; pasal ketiga, persepsi dalam Alquran; pasal keempat, berpikir dalam Alquran; pasal kelima, belajar dalam Alquran; pasal keenam, ilmu laduni dalam Alquran; pasal ketujuh ingat dan lupa dalam Alquran; pasal kedelapan, susunan saraf dan otak dalam Alquran; pasal kesembilan, kepribadian dalam Alquran; pasal kesepuluh, psikoterapi dalam Alquran.
Pada ayat ke-185 dari surat Albaqarah Alquran disebutkan sebagai petunjuk bagi manusia. Bila Alquran diturunkan sebagai petunjuk untuk manusia, dapat disimpulkan muatannya berkisar tentang manusia; manusia terhadap Rabbnya, manusia terhadap manusia, dan manusia terhadap alam. Pada mukadimah Najâtiy menyinggung tentang isi Alquran yang memuat struktur fisik manusia, perbedaan kondisi kejiwaan, penyebab penyimpangan dan penyakit jiwa yang disertai dengan metode terapi. Adalah suatu keniscayaan menjadikan yang termaktub di dalam Alquran seputar realitas manusia, sifat dan kondisi psikis untuk mengkonstruksi struktur yang sahih tentang kepribadian manusia. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (Almulk: 14)
Para psikolog kontemporer telah membatasi diri pada kajian ten­tang gejala-gejala kejiwaan yang hanya bisa diamati dan dikaji secara objektif. Sementara berbagai gejala kejiwaan penting yang sulit diamati atau diteliti secara eksperimental, dikesampingkan. Atas alasan itu terdapat dari mereka yang menyerukan untuk mengganti nama "Psikologi (Ilmu Jiwa)" dengan "Ilmu Tingkah Laku" karena yang dipelajari psikologi modern terbatas pada tingkah laku, bukan jiwa. Sudut pandang materialistis mendominasi penelitian-penelitian psikologi. Semua gejala kejiwaan dikembalikan pada aktivitas fisiologis, dan memandang manusia bagaikan memandang hewan. Bahkan mereka menjadikan hasil penelitian tentang prilaku hewan, dijadikan sebagai pendekatan alamiah untuk memahami prilaku manusia.
Namun, pada tahun-tahun terakhir ini, segelintir psikolog telah menya­dari pentingnya pengkajian aspek spiritual dalam diri manusia. Mereka mulai mengkaji sebagian gejala spiritual, seperti telepati (takhâthur) dan kewaskitaan (istisyfâf). Hanya saja, kajian tersebut masih pada tahap permulaan, belum sampai pada hasil-hasil yang detail yang secara meyakinkan bisa dimasukkan dalam kelompok informasi yang akurat tentang manusia.
Pada bagian akhir mukadimah, Najâtiy mengingatkan bahwa umat Muslim perlu meningkatkan penelitian terha­dap khazanah warisan Islam, dimulai dengan Alquran dan Hadis. Lalu meneliti perkembangan pemikiran tentang kajian-kajian kejiwaan yang dilakukan para filosof dan pemikir Muslim. Sebagai upaya mencapai pemahaman yang sahih tentang konsep-konsep kejiwaan yang Islami, untuk dijadikan pedoman dalam melakukan pengkajian tentang tema-tema kejiwaan. Juga untuk membantu menciptakan teori-teori khusus tentang kepribadian manusia, dengan memadukan antara akurasi penelitian ilmiah yang benar dengan fakta-fakta ten­tang manusia yang terdapat dalam Alquran yang merupakan fakta-fakta yang mutlak kebenarannya karena bersumber dari Allah, Pencipta manusia. Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Fushshilat: 42)<

RESONANSI: H2C Alumni KIP


By Thobib Al-Asyhar

Suatu ketika, di kelas kami ada diskusi kecil sambil menunggu dosen datang. Ya, diskusi ringan tentang masa depan alumni jurusan Kajian Islam dan Psikologi (KIP) di PSTTI UI ini. Mas Faruq melontarkan pertanyaan, kalau sudah lulus nanti kita akan menjadi apa ya? Mas Rakimin (yang biasa dipanggil Rocky) menimpali, seharusnya kita bisa jadi konsultan psikologi muslim. Ya, paling tidak konsultan psikologi yang berwawasan Islam lah. Kan belum ada tuh. Bahkan kata pak Prof. Dr. Dadang Hawari, kita bisa membuka praktik terapi masalah-masalah sosial dengan pendekatan agama. Kalau ilmu agamanya kita punya, ditambah pengetahuan psikologi Barat, cukuplah bekal kita. Untuk menjadi terapis sosial keagamaan kan yang penting pengakuan dari masyarakat. Kalau kita tidak bisa jadi konsultan psikologi muslim, rugi dong kita kuliah bayar mahal! Tegas Mas Rocky agak sedikit provokatif.
Ah gak juga mas! Menurut saya, kalau jadi konsultan psikologi muslim, terlalu jauh, wong kita disini hanya diajarkan sedikit tentang teori psikologi Barat dan terapan kok. Jadi konsultan psikologi itu tidak mudah. Banyak hal yang harus kita kuasai. Jadi terlalu berlebihan lah kalau Mas Rocky berhar
ap seperti itu. Apalagi kurikulum kita masih perlu perbaikan sana-sini. Ditambah lagi, banyak dosen-dosen kita juga yang kurang gairah. Giliran masuk, sering mutu penyampaiannya tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Gimana bisa jadi konsultan psikologi Mas? Gimana pula cara mempraktikkannya jika teori psikologi terapan kita lemah? Begitu Mas Asri mengajukan pertanyaan pada mas Rocky.
Begini mas Asri, sebenarnya kan kita ini sudah memiliki basic keilmuan agama yang cukup. Kita seharusnya diberikan kurikulum oleh PSTTI yang memiliki muatan teori psikologi Barat dan terapan lebih banyak, kemudian kita kreasi dengan disiplin ilmu keislaman sendiri, gitu loch! Misalnya, pada semester satu dan dua full muatan psikologi Barat dan terapannya, dan semester tiga baru secara intensif kurikulum elaborasi dengan disiplin ilmu-ilmu keislaman. Jadi, dengan tiga semester ditambah mata kuliah tambahan dan tesis, ilmu kita sudah mulai menampakkan arahnya, sergah Mas Rocky berapi-api.
Alahhh… itukan maunya sampean Rock! Sela Mas Ghozali dengan logat Madura yang kental. Kalau menurut saya, muatan kurikulum jurusan KIP dan arah program yang belum jelas seperti ini, kita gak usah berharap banyak lah! Wong saya yang S-1 saja dari psikologi, begitu masuk di sini sampai sekarang belum menemukan formulasi yang jelas. Apalagi beberapa waktu yang lalu, pak Ramzy pernah bilang bahwa pimpinan rektorat UI ingin menghapuskan jurusan kita! Alasan orang-orang rektorat, katanya, psikologi Islam itu gak punya landasan ilmiah yang kuat, sementara bangunan teoritiknya tidak kunjung beres. Banyak ilmuan Islam yang sering mengklaim dirinya sebagai ahli psikologi Islam, ternyata, pandai berwacana psikologi Islam dalam ranah filosofis belaka dan tidak segera dituangkan dalam bangunan teori empirik yang jelas dan praktis! Kalau sudah demikian, apanya yang bisa kita harap banyak setelah lulus dari sini?
Tapi, gaswat juga tuh orang rektorat! Kayaknya orang rektorat UI kurang gaul ya? Emangnya mereka gak tahu apa? Alquran dan Hadits itu kan dapat dijadikan landasan membangun teori dan sandaran penelitian tentang manusia dalam mengembangkan psikologi Islam. Kalau selama ini belum terbangun, ya kita-kita ini lah yang nantinya akan memulainya. Susah sih, ilmuan psikologi di UI itu banyak yang sekuler! Cetus Mas nanang yang alumni filsafat dari Al-Azhar Mesir. Harusnya mereka setelah tahu banyak tentang psikologi, cobalah mereka belajar Alquran dan Hadits dong. Jangan hanya mengatakan psikologi lslam gak ilmiah! Di Timur Tengah seperti Mesir, Yordan dan lain-lain, psikologi Islam itu berkembang pesat! Kenapa di Indonesia belum berkembang, karena baru mau dibangun saja sudah dituduh gak ilmiah! Lanjut Mas nanang dengan mimik sengit.
Tapi memang kita akui antara psikologi Barat dan Islam agak sulit ditemukan titik temunya. Kalau psikologi Barat, itukan dasarnya kajian empirik atau apa adanya tanpa muatan nilai-nilai moral. Sedangkan Islam itu menitikberatkan kajiannya pada aspek penanaman nilai-nilai idealisme atau “yang seharusnya”. Itulah problem kita bersama. Sebaiknya kita gak usah menyalahkan siapa-siapa. Pihak pimpinan PSTTI sudah sedemikian rupa berusaha mencari solusi dengan segala keterbatasannya. Sementara dari pihak rektorat UI juga barangkali berdasarkan landasan berfikir yang jelas. Jadi kita sebagai mahasiswa harus memberikan masukan aktif kepada semua pihak agar cita-cita membangun disiplin Psikologi Islam yang kokoh dapat tercapai. Sahut Pak Miswardi mencoba menengahi pembicaraan.
Dan…. begitulah seterusnya diskusi bak air sungai yang gak bisa dibendung. Arah diskusipun semakin gak ada juntrungan, dan kesimpulannya pun semakin sulit diambil. Saya hanya terdiam mendengarkan diskusi temen-temen kelas yang terkenal idealis. Saya pun merenungi apa-apa yang mereka gagas. Jangan-jangan saya kuliah di jurusan KIP tidak memiliki landasan visi yang kuat! Ya, sudahlah, semoga apa yang mereka diskusikan dapat kita ambil hikmahnya. Waktu diskusipun berakhir, seiring dengan kedatangan dosen yang cukup telat, kemudian mengabsen satu persatu dan saya mendengarkan kuliahnya hingga akhirnya saya terkantuk-kantuk karena tidak menarik. Dan tibalah waktunya saya dan temen-teman kelas pulang ke rumah masing-masing dengan “bekal” sedikit dan perasaan Harap-harap Cemas (H2C)!. Wallahu a’lam bish-shawab.